Aceh Barat, 29 Oktober 2023

Batubara tumpah mengotori pantai di Nagan Raya. Sumber: Dokumentasi Apel Green Aceh.

Banyak pantai indah di sekujur Provinsi Aceh. Namun, pantai di Peunaga Rayeuk, Meureubo, Aceh Barat, tidak termasuk kategori itu. Lautnya cokelat, sebagaimana laut di dekat muara sungai gambut. Ia juga dipenuhi dengan sampah. Sepanjang horizon, barisan tongkang dan kapal kargo berjejer mengantri.

Ujung antrian mereka nampak di sudut selatan: dermaga milik tambang batubara PT Mifa Bersaudara, tempat rangkaian kapal tersebut akan menjemput angkutan batubara ke India. Mendung dan gerimis yang menyambut kedatangan kami melengkapi nuansa cokelat-kelabu distopia pantai ini. Padahal pantai ini merupakan kawasan konservasi laut.

Kalau memperhatikan dengan seksama, kita akan menemukan ceceran batubara di di ujung hempasan ombak. Batubara itu terdampar dari dasar laut di bibir pantai oleh deruan ombak. Ceceran itu adalah  sisa tumpahan tongkang pengangkut batubara yang ramai diberitakan beberapa bulan ini.

“Ini cuma sisaan. Mayoritas besar sudah diangkut oleh warga dan dijual kembali ke PT Mifa,” ujar Sukur, aktivis lingkungan muda dari Apel Green Aceh.

“Sejak kasus tumpahan mereka diramaikan di media, PT Mifa membeli batubara yang tumpah dengan harga 20 ribu – 25 ribu per karung. Sejak saat itu setiap ada tumpahan, dalam hitungan jam warga langsung berkumpul di pantai. Segala tumpahan akan segera disapu bersih, dikumpulkan dalam karung goni, dan dijual kembali. Ini jadi penghasilan tambahan bagi warga.”

Tumpahan batubara di pantai ini telah terjadi berulang kali, bulan Oktober ni saja setidaknya sudah tiga kali. Insiden ini diramaikan hingga media nasional. Namun perdebatan masih berkutat pada batubara siapa yang tumpah. Di dekat pantai ini memang ada dua perusahaan yang mengelola batubara: PLTU Nagan Raya dan pertambangan PT Mifa bersaudara. Keduanya tidak mau mengakui kepemilikan batubara yang tumpah.

Ramainya perhatian atas kejadian ini mendesak DPR Aceh, yang akhirnya turun tangan dan mengirim tim pemantau ke lapangan. Namun tes laboratorium dari pemantauan tidak menemukan hasil konklusif tentang kepemilikan tumpahan batubara. Tingkat kalori batubara itu disebut terlalu tinggi untuk PT Mifa, namun terlalu rendah untuk olahan PLTU Nagan Raya. Mereka malah merujuk pada PT Bara Energi Lestari (PT BEL), perusahaan tambang lain yang ternyata merupakan saudara dari PT Mifa Bersaudara di bawah naungan PT Media Djaya Bersama. Masalahnya, PT BEL mengaku tidak mengangkut batubara melalui jalur laut.

DPR Aceh tetap mengaku “tidak main-main”. Mereka kemudian memanggil pimpinan PT Mifa dan PLTU Nagan Raya untuk menyelesaikan perkara. Meski belum ada klarifikasi formal tentang kepemilikan batubara yang tumpah, nampaknya beban pertanggungjawaban lebih banyak disematkan pada PT Mifa. Apa sanksi yang dibebankan oleh mereka?

Tidak ada sanksi ataupun pencabutan label “proper biru” (label peringkat terbaik performa perlindungan lingkungan) yang disandang PT Mifa1. PT Mifa cuma diharuskan memperbaiki sistem bongkar-muat untuk mengurangi tumpahan dan bertanggung jawab membersihkan segala tumpahan yang terjadi. 

Tidak ada transparansi perihal perbaikan praktik bongkar muat PT Mifa. Pada rapat 16 Juli 2023, Dinas ESDM Aceh mengaku bahwa kasus tumpahan batubara sudah “selesai”1, meski hingga Oktober-November tercatat bahwa tumpahan bat bara masih terus berulang. 

Sementara sebagai pertanggungjawaban pembersihan, PT Mifa menawarkan pembelian tumpahan batubara di pantai dengan biaya 25 ribu per karung bagi warga yang mengumpulkan. Hal ini punya 2 masalah besar. Pertama, ia membuat lingkaran setan yang menjadikan warga bergantung pada tumpahan sebagai penghasilan tambahan. Kedua, pembelian ini hanya pembersihan kosmetik. Tumpahan memang hilang dari pantai, tapi hanya sesaat sebelum ia berulang. Tidak ada langkah substansial dalam mengurangi dampak ekologis tumpahan di laut. Begitu pula dampak yang mengganggu ruang hidup masyarakat di laut, seperti nelayan.

Tersingkir oleh batubara tanpa pertanggungjawaban

“Dulu setiap musim tenggiri angin timur begini, kita rata-rata dapat 7 timba (1 timba = 15 kg) sekali jalan. Sementara kini maksimal 2 timba, kalaupun dapat,” ujar Amin  (bukan nama sebenarnya), 50 tahun, nelayan lokal.

“Di sini kerja kita terganggu lalu lalang kapal tongkang. Ikan-ikan kabur, sementara jala kita juga sering rusak tersangkut tumpahan batubara. Ketika kita harus melaut lebih jauh, tangkapan tidak lagi menguntungkan dibandingkan ongkos bensin. Belum menimbang konflik dengan nelayan lain yang merasa kita masuk ke wilayah mereka,” pungkas Amin.

Ketika ditanya tentang pertanggungjawaban PT Mifa, mereka mengaku tidak tahu. Masyarakat sekitar pesisir, termasuk 400 nelayan di kecamatan Meureubo, masuk dalam ring 2 penerimaan CSR dari PT Mifa. Namun sebagian nelayan, termasuk Amin, mengaku tidak tahu menahu soal sistem pembagian CSR tersebut. Tidak ada transparansi.

Keluhan ini bukan hanya muncul dari masyarakat sekitar pesisir, tetapi juga para petani. Bertani dan berkebun adalah salah satu sumber penghidupan utama warga desa Buloh. Mereka menanam pisang, sawit, bayam, padi, hingga palawija. Namun selama 20 tahun tambang PT Mifa beroperasi, hasil panen mereka terus menurun. Sumber air irigasi menjadi hitam, sementara debu pertambangan yang menumpuk meracuni tanah. Sekitar 2017, hampir semua kebun dan ladang warga akhirnya terbengkalai.

Namun, Arif (bukan nama sebenarnya), 60 tahun, yang kami temui dalam peninjauan adalah pengecualian. Ia bersikeras membuat ladang dan kebunnya kembali produktif. Pada 2022, setelah mendesak PT Mifa, ia akhirnya mendapatkan bantuan pupuk dan bibit. Ia bahkan membangun parit untuk melindungi ladangnya dari air hitam yang terkontaminasi batubara. Semusim kembali berladang, hasilnya nihil.

Dulu, satu hektare ladang padi dapat menghasilkan beras 3-4 ton. Dalam percobaan terakhir Arif, ia mendapatkan 30 kilogram beras dari ladang satu hektare. Saat dipanen, hampir semua bulir padi kosong atau hitam. Jangankan balik modal, untuk makanan keluarga pun tidak cukup. 

“Lebih baik bibitnya kami langsung makan saja daripada ditanam,” guyonnya getir.

Pada awalnya, PT Mifa bersikeras pada warga bahwa anjloknya hasil panen tidak disebabkan oleh debu batubara. Arif tidak percaya. Ia melakukan eksperimen: ia meletakkan baki kaca 2×1 meter di ladangnya. Dalam waktu 3 hari, dalam baki tersebut telah terkumpul debu halus seberat 3 kilogram. Ia menunjukkan hasil eksperimennya ke PT Mifa, namun mereka tidak bergeming.

Bagaimana warga terdampak seperti Arif menghadapi kehilangan penghasilan karena pertambangan? Arif mengakui bahwa ia dan warga lain umumnya bergantung pada sanak saudara yang bekerja di tambang atau di PLTU. Situasi ini menjadi lingkaran setan: industri ekstraktif merenggut penghidupan warga, kemudian membuat warga bergantung pada mereka secara ekonomi.

Kerusakan ekologi dan sosial yang terjadi di Nagan Raya menggambarkan kecenderungan mengkhawatirkan dari industri batubara Indonesia.  Kisah yang dialami Amin dan Arif, sebagai nelayan dan petani Nagan Raya, juga terjadi di banyak tempat di sepanjang hulu dan hilir industri kotor batubara yang terus dikembangkan. Pada Desember 2023, Indonesia telah memecah rekor dengan memproduksi 701,04 juta ton batubara, melampaui target tahunan 694,5 juta ton.2

Selain kerusakan di tapak sekitar rantai pasok, eksploitasi batubara Indonesia akan berujung pada emisi karbon yang semakin lepas kendali. Pada 2023, Indonesia sendiri telah masuk sebagai 10 besar emiten karbon di dunia.

Meski sebagai negara tropis kepulauan Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan bencana hidrometeorologi, pemerintah terus memprioritaskan candu batubara. Sudah waktunya Indonesia sadar. Kecanduan batubara demi keuntungan sesaat akan melukai warga negara ini, baik di masa kini maupun di masa depan. (*)

Catatan Referensi:

https://betahita.id/news/detail/9364/3-kali-tumpahkan-batu-bara-proper-biru-pt-mifa-diminta-dicabut-.html?v=1697353003

https://industri.kontan.co.id/news/lampaui-target-produksi-batubara-nasional-sudah-tembus-700-juta-ton

https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/05/emisi-energi-fosil-dan-deforestasi-indonesia-sepuluh-besar-terburuk-di-dunia

Foto: Dokumentasi Apel Green Aceh