Apahabar-Sebentar lagi institusi kepolisian akan merayakan hari jadinya yang ke 77 tahun, tepatnya pada 1 Juli 2023.

Namun sepanjang umurnya, insititusi Bhayangkara negara itu ternyata memiliki rapor merah yang harus dibenahi secara menyeluruh. Di antaranya terkait bisnis keamanan pengelolaan sumber daya alam.

Publik tentu tidak akan lupa tentang video pengakuan Ismail Bolong yang muncul pada November 2022. Kala itu ia masih berpangkat Aiptu dan bertugas sebagai anggota Satuan Intelkam Polresta Samarinda, Polda Kalimantan Timur. Video itu merupakan satu dari banyaknya kasus penyalahgunaan wewenang oleh kepolisian.

Perwakilan JATAM Kalimantan Timur, Mareta Sari dari dalam Diskusi Publik: Riwayat Kepolisian dalam Bisnis Keamanan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang digelar di Kantor YLBHI-LBH Jakarta, Selasa (27/6) mengungkapkan perilaku polisi justru lebih sering melindungi industri dibandingkan melindungi masyarakat yang ruang hidupnya dirampas oleh industri perusak lingkungan.

Di Kalimantan Timur misalnya, kata Mareta, polisi bersama tentara melakukan penjagaan yang sangat ketat di IUPK ekstraksi dan melabelinya dengan Objek Vital Nasional. Perlindungan terhadap industri ekstraktif tak hanya pada perusahaan yang terdaftar, tetapi juga pada industri ilegal.

“Ada tambang batu bara ilegal. Pada tahun 2022, Ismail Bolong, mantan anggota kepolisian Samarinda diduga memberikan uang sebanyak 3 kali dengan total 6 miliar kepada Kabareskrim Polri yaitu Komjen Agus Adrianto,” ujarnya melalui keterangan tertulis, dikutip Kamis (29/6).

Mareta menambahkan, di tambang ilegal di Muara Badak dan dekat Bontang, Kementerian Lingkungan hidup yang ingin memeriksa malah dibentak-bentak oleh Ismail Bolong.

Selain itu, “Ada juga taipan-taipan yang mengatur lalu lintas batu bara ilegal yang berkaitan erat dengan kepolisian,” ujar Mareta.

Sejauh ini, ada beberapa model praktik pertambangan ilegal yang dilakukan, di antaranya; beli putus tanah masyarakat atau bagi hasil dengan pemilik tanah, menggunakan lahan di antara tanah konsesi atau tambang koridor, dan menggali kembali tanah yang sudah tidak aktif.

Pertambangan itu biasanya dijaga oleh preman yang diduga kerap mendapat perlindungan dari polisi dan pemerintah lokal seperti kepala desa. Sayangnya, pengaduan masyarakat ke polisi terhadap praktik kekerasan dari industri ekstraktif dan keberadaan tambang ilegal itu seringkali diabaikan atau tidak diproses.

“Kewenangan penanganan ada di kepolisian, tetapi petugas kepolisian berganti-ganti dalam waktu cepat. Misalnya dalam kasus Ismail Bolong, ada sembilan kapolsek dipindahtugaskan,” terangnya.

Praktik tersebut selalu terjadi setiap ada kasus yang mencuat berasal dari pengaduan masyarakat. Kalau ada yang dijadikan tersangka, biasanya yang diproses adalah aktor lapangan seperti tukang, petugas keamanan.

“Jarang sekali polisi memproses petinggi perusahaan,” kata Mareta.

Penyalahgunaan wewenang aparat kepolisian di sektor Sumber Daya Alam tidak hanya terjadi di Kalimantan Timur, di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, hal serupa juga sama.

Perwakilan LBH Makassar Muhammad Haedir menyampaikan bahwa kepolisian sering berat sebelah dalam menyikapi sebuah kasus di sektor Sumber Daya Alam yang berbuntut kriminalisasi terhadap warga korban industri ekstraktif.

“Di Sulawesi, pernah terjadi protes nelayan yang merobek uang suap. Dalam kasus itu, justru bukan praktik suapnya yang dilihat oleh aparat, tapi masyarakat dikriminalisasi dengan tuduhan perusakan kehormatan rupiah,” terangnya.

Jadi ketika masyarakat melapor, kata Haedir, prosesnya menjadi terkatung-katung dan bahkan mandek. Aparat juga kerap melakukan pengamanan berlebihan kepada rakyat yang menjadi korban industri dan berlindung di balik kata Objek Vital Nasional.

Hal senada diutarakan Yan Mangandar dari Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB. Menurutnya, di Sumbawa Barat ada rencana pembangunan smelter hingga melakukan pembebasan 400 hektar lahan subur yang digunakan untuk bertani.

Smelter itu milik perusahaan swasta. Dalam prosesnya, preman masuk ke pemukiman dan memaksa warga agar mau melepaskan tanahnya. Di antara preman tersebut ada Satpol PP, TNI, dan Kepolisian.

“Warga yang memprotes keberadaan smelter justru diintimidasi,” tutur Yan.

Praktik bisnis dan upeti yang dilakukan oleh aparat kepolisian di industri ekstraktif semakin membuka fakta tentang dugaan sumber dana dari kehidupan mewah para polisi.

Hal itu diungkap Lalola Easter dari ICW. Menurutnya, jasa keamanan polisi merupakan sumber pendapatan tak terlihat dari aparat negara, di luar sumber pendapatan utama mereka dari anggaran negara.

Lalola menjelaskan saat ini ada anggota Polri yang rangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN, BUMD, dan anak-anak perusahaan. Dari 4 pejabat tinggi polisi, tiga di antaranya menjadi komisaris di BUMN yang bergerak di sektor SDA, salah satunya PT Antam.

“Gaji bersih dari komisaris PT Antam di tahun 2021 ini sangat fantastis. Mereka bisa mendapatkan 70 hingga 300 juta rupiah per bulan,” ujar Lalola.

Lalola menambahkan, “Kita bisa melihat gaji polisi yang hanya berkisar antara satu juta hingga enam juta, tapi faktanya banyak yang menunjukkan kemewahan berlebihan dan kekayaan yang luar biasa. Praktik ini bermasalah karena menghambat penegakan hukum.”

Sementara dalam konteks perlindungan terhadap lingkungan, Meike Inda Erlina dari Trend Asia menjelaskan praktik tersebut sangat berbahaya karena memicu kerusakan dan eksploitasi lingkungan.

Peran-peran polisi dalam pengamanan di sektor Sumber Daya Alam, kata Meike, seringkali dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi konflik, sebagaimana sempat diungkapkan pula oleh Menteri BUMN, Erick Thohir.

Baca selengkapnya…

Foto: Tiara Pertiwi/Trend Asia