Jakarta, 24 Agustus 2023-Trend Asia mendesak pemerintah berhenti memanfaatkan situasi genting kesehatan warga Jakarta akibat polusi udara dengan mempromosikan co-firing biomassa. Mencampur pelet kayu dengan batubara di pembangkitan hanya akan memperpanjang usia PLTU dalam memproduksi emisi beracun. Sebaliknya, pemerintah harus memperketat pengawasan dan transparan dengan membuka data-data hasil pemantauan pencemaran dari sumber tak bergerak yakni industri padat polusi termasuk PLTU ke publik.

Di awal pekan ini, kepada media, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mempromosikan Co-Firing Biomassa dengan dalih akan menghasilkan emisi yang lebih rendah dan klaim komitmen pendanaan transisi energi sebagai solusi polusi udara Jakarta [1]. Menyedihkannya lagi, promosi ini dilakukan ketika Jakarta disebut oleh media internasional sebagai kota paling beracun di dunia.

“Promosi Co-Firing PLTU adalah taktik jahat dan melukai perasaan puluhan juta warga Jakarta yang tercekik polusi. Solusi palsu ini juga bertolak belakang dengan semangat penindakan terhadap sumber polusi tak bergerak yang kini digencarkan Satgas Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) [2]. PLTU tua harusnya didorong untuk ditutup lebih awal sebab tidak lagi efisien dalam paparan polusi udara dan bukan malah diperpanjang operasionalnya melalui Co-Firing,” ujar Amalya Reza Oktaviani, Manager Program Bioenergi Trend Asia.

Dalam skenario transisi energi, pemerintah Indonesia menargetkan Co-Firing Biomassa di 107 PLTU di Indonesia termasuk tiga di antaranya berada di radius 100 kilometer dari Jakarta yakni PLTU Suralaya di Cilegon, PLTU Lontar di Suralaya dan PLTU Labuan di Banten. Data riset Trend Asia menyebut bahwa Co-Firing biomassa dengan batubara berpotensi lebih emisif dibandingkan pembakaran penuh batubara [3]. Proyeksi kebutuhan pasokan pelet kayu 10% Co-Firing di 107 unit PLTU berpotensi menghasilkan emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida per tahun. Emisi ini muncul mulai dari deforestasi, pengelolaan hutan tanaman energi hingga produksi pelet kayu.

“Dari pengalaman pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hitungan kebutuhan biomassa kayu untuk Co-Firing, maka berpotensi terjadinya deforestasi baru sedikitnya dua juta hektar. Sementara kita tahu tutupan hutan di Jawa sudah kurang dari 30%, sementara kondisi RTH Jakarta hanya sekitar 5%. Kalau seperti ini, polusi di sekitar kawasan PLTU termasuk di Jabodetabek tidak akan pernah terselesaikan,” kata Wildan Siregar, Pengkampanye Bioenergi Trend Asia.

Jika pembakaran batubara di PLTU menghasilkan partikel polutan terkecil PM2,5, Co-Firing Biomassa menghasilkan emisi PM10 yang juga buruk bagi kesehatan karena partikelnya berukuran besar. Praktik Co-Firing tidak membuat emisi PLTU lebih bersih, dan emisi NO2 dan PM10 yang dihasilkan justru lebih destruktif, terutama ketika menggunakan kayu basah. [4]

Fokus mengatasi polusi pada sumber tak bergerak sangatlah penting. Berdasarkan data Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bahwa selama Covid-19 pada 2020, lalu lintas transportasi berkurang namun ternyata tidak besar pengaruhnya pada perbaikan kualitas udara Jakarta. Kontribusi sumber polusi dari industri dan PLTU ini juga diakui oleh Presiden Joko Widodo sendiri beserta sejumlah menteri yakni Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya [5].

Sejak Senin (21/8/2023) Kementerian LHK menurunkan seratusan personil Satgas Pengendalian Pencemaran Udara untuk mengawasi sumber-sumber pencemaran polusi tidak bergerak seperti PLTU, penimbunan batubara (stockpile) dan industri padat polusi lainnya di wilayah Jabodetabek. Bahkan, Rabu (23/8/2023) kemarin, lebih jauh lagi, Kementerian LHK menyegel dan menghentikan kegiatan empat perusahaan penimbunan batubara dan peleburan di kawasan Marunda, Jakarta Utara [6].

“Upaya satgas yang turun ke sumber-sumber polusi hanya akan memberikan dampak jika dilakukan secara transparan. Data-data emisi pencemaran harus dibuka ke publik termasuk situasi tingkat pencemaran di pembangkit listrik. Tanpa tindakan itu, kebijakan ini hanya akan jadi pernyataan politik seperti yang sudah-sudah dan sekadar memenuhi dahaga publik yang akhirnya menjadi masalah yang timbul-tenggelam setiap tahun,” ujar Wildan.

Catatan editor:

1. https://www.cnbcindonesia.com/news/20230822082732-4-464912/bos-bappenas -suntik-mati-pltu-solusi-atasi-polusi-udara

  1. https://www.menlhk.go.id/site/single_post/5543/satgas-pengendalian-pencemara n-udara-klhk-diterjunkan-awasi-dan-tindak-pelaku-pencemaran-udara
  2. https://trendasia.org/riset-membajak-transisi-energi-seri-1-adu-klaim-menurunkan -emisi/
  3. https://ehjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12940-020-00629-3 danhttps://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2020/08/Jakarta-Transboun dary-Pollution_FINALEnglish.pdf
  4. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230815075341-20-986119/poin-poin-a rahan-jokowi-dalam-ratas-kabinet-atasi-polusi-udara-jakarta
  5. https://mediaindonesia.com/humaniora/607309/4-perusahaan-disegel-terkait-pol usi-udara-jabodetabek

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia