Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memiliki mandat untuk memisahkan  tugas dan wewenang antara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) -yang saat ini disebut Tentara Nasional Indonesia (TNI)- dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kondisi ini tidak terlepas dari adanya desakan oleh sejumlah elemen untuk melepaskan otoritarianisme militer menjadi negara yang demokratis. Hasilnya, TNI menjadi institusi yang berwenang untuk menjaga pertahanan dan keamanan Indonesia dari ancaman eksternal sedangkan Polri memiliki wewenang untuk menjaga ketertiban di masyarakat.

Dalam perjalanannya hingga hari ini, agenda reformasi khususnya di Polri masih menyisakan banyak persoalan. Sejumlah kelompok masyarakat sipil melihat tidak adanya keseriusan yang dilakukan oleh pemerintah selama kurun waktu 25 tahun terakhir. Salah satu permasalahan yang tidak kunjung selesai adalah praktik koruptif dan excessive of power yang terjadi di institusi tersebut. Berdasarkan laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2021 terdapat empat kasus korupsi yang melibatkan empat polisi aktif. Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya sejak Juli 2021-Juni 2022 terdapat 677 kasus kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian.

Tidak tuntasnya agenda reformasi kepolisian menjadikan institusi tersebut dianggap kebal dari proses hukum yang melibatkan anggotanya sendiri sehingga mengakibatkan peristiwa kekerasan oleh aparat terus berulang. Misal, pada 1 Oktober 2022, 11 aparat kepolisian menembakan gas air mata secara brutal di stadion Kanjuruhan, Malang, hingga mengakibatkan 135 orang menjadi korban jiwa.Berdasarkan keterangan pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), penggunaan gas air mata dalam pertandingan merupakan tindakan yang dilarang. Atas tindakan brutalitas aparat tersebut, tiga dari enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka merupakan anggota aktif kepolisian. Namun sayangnya, dua dari tiga orang anggota kepolisian yang disidangkan tidak terbukti bersalah dan bebas.Hal ini menjadi preseden buruk dan semakin menegaskan bahwa impunitas bagi aparat belum dapat dihentikan.

Kondisi ini diperparah dengan adanya penggunaan peralatan negara yang dibeli oleh kepolisian menggunakan pajak warga melalui mekansime pengadaan. Oleh sebab itu, ICW bersama Trend Asia melakukan pemantauan terhadap pembelian gas air mata yang menjadi salah satu pemicu utama terjadinya tragedi mematikan dalam sepak bola tersebut. Laporan ini disusun sebagai catatan untuk mendesak pemerintah melakukan reformasi di tubuh kepolisian sehingga penggunaan kekerasan secara berlebihan yang difasilitasi oleh anggaran publik dapat dipertanggungjawabkan secara transparan.


Potensi Kecurangan Pembelian Gas Air Mata oleh Kepolisian

Unduh - PDF