Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) IMIP Morowali menuntut pihak manajemen Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) untuk memperbaiki sistem layanan dan fasilitas kesehatan untuk buruh yang berobat di Klinik Kesehatan PT IMIP. SBIPE IMIP juga mendesak agar seluruh perusahaan yang berada di Kawasan IMIP mempermudah pengurusan surat izin bagi buruh yang tidak bekerja karena sakit. 

Bahodopi, 16 Februari 2024 – Ratusan buruh yang bekerja di perusahaan dalam kawasan industri nikel, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) harus menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Klinik PT IMIP di Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah. Membludaknya pasien yang menunggu pelayanan di Klinik IMIP terjadi hampir setiap hari mulai pukul 07.00 WITA sampai 23.00 WITA membuat buruh sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dalam kondisi sakit. 

“Sudah empat tahun seperti ini. Kalau mau berobat di sini (Klinik IMIP) selalu mengantri panjang, kadang menunggu seharian hanya untuk berobat, padahal orang yang menunggu sedang dalam keadaan sakit,” ucap Eko seorang buruh yang sudah menunggu lima jam untuk memeriksakan telinganya ke Poli THT Klinik IMIP.

Ketua Umum Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) IMIP Henry Foord Jebbs mengatakan, sulitnya buruh menerima pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh sistem kuota yang ditetapkan Klinik IMIP. Sistem kuota tersebut menimbulkan kerugian bagi buruh karena jumlah kuota pelayanan pasien tidak sebanding dengan jumlah buruh yang bekerja di kawasan IMIP. Dengan demikian, kemungkinan buruh tidak mendapatkan hak pelayanan kesehatan cukup besar dan membuat para buruh harus berobat ke puskesmas atau klinik kesehatan lainnya. 

Menurut Klinik IMIP, kuota layanan pasien mencapai sekitar 540 orang per hari. Kuota pasien untuk jadwal pengobatan pagi mencapai 180 orang, pasien siang 180 orang, dan pasien malam 180 orang. Hal ini atas pertimbangan kesesuaian kapasitas fasilitas dan tenaga medis di Klinik IMIP. Meski demikian, sistem kuota tersebut membuat beberapa pasien tidak mendapatkan nomor antrian karena kuota penerimaan pasien telah habis. 

“Sayangnya, klinik lain di sekitar Kawasan IMIP masih sangat terbatas, hanya puskesmas yang bisa melayani pasien, itu pun jadwal pelayanannya terbatas dari pagi hingga sore saja. Di sisi lain, penerapan sistem jam kerja panjang dari perusahaan yang beroperasi di IMIP menyebabkan buruh mudah sakit. Sementara kapasitas pelayanan kesehatan baik yang disediakan oleh Klinik IMIP maupun yang disediakan oleh pemerintah terbatas. Maka yang lagi-lagi yang dirugikan adalah buruh yang kehilangan hak atas layanan kesehatannya,” tegas Henry.

Masalah akses pelayanan kesehatan akibat sistem kuota berimbas ke buruh yang ingin mengesahkan Surat Keterangan Sakit (SKS) dari dokter di luar Klinik IMIP. Sebagai informasi, semua perusahaan yang beroperasi di Kawasan IMIP hanya memberikan izin tidak bekerja karena sakit jika buruh memiliki SKS yang dikeluarkan oleh Klinik IMIP atau SKS yang disahkan oleh Klinik IMIP dengan stempel basah, meski buruh tersebut berobat di klinik lain. 

“Jika syarat pengesahan tersebut tidak dipenuhi, maka ketidakhadiran karena sakit akan dianggap sebagai perbuatan mangkir. Banyak buruh yang tidak bekerja karena sakit malah dianggap mangkir oleh perusahaan karena tidak memiliki SKS dari Klinik IMIP. Sementara kuota pelayanan di Klinik IMIP dibatasi,” kata Henry. 

Untuk menanggulangi kapasitas pelayanan kesehatan yang belum mencukupi, PT IMIP bekerjasama dengan apotek dan klinik lain di sekitar kawasan IMIP untuk menjadi alternatif pengobatan bagi buruh yang mengalami sakit ringan. Namun menurut Henry, kerjasama ini berdampak pada aspek finansial karena buruh harus mengeluarkan biaya tambahan ketika mengakses obat di apotik yang juga memanfaatkan momentum itu untuk menjual SKS. 

“Banyak buruh yang sakit dan tidak mau berobat dan antri di Klinik IMIP. Akhirnya mereka datang ke apotek yang sudah bekerja sama dengan PT IMIP. Biasanya apotik tersebut mengeluarkan SKS dan buruh harus membayar antara Rp75 ribu hingga Rp100 ribu,” ujar Henry. 

Dengan kondisi yang merugikan aspek kesehatan dan finansial buruh yang bekerja di kawasan industri nikel IMIP, SBIPE IMIP Morowali meminta agar PT IMIP segera memperbaiki dan menambah fasilitas serta tenaga kesehatan di Klinik IMIP agar buruh bisa mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Hal ini juga harus sejalan dengan penghapusan layanan kuota dan mendorong Klinik IMIP agar aktif selama 1×24 jam. Selain itu, kerjasama dengan fasilitas kesehatan lain yang menuntut bayaran untuk menerima Surat Keterangan Sakit perlu ditiadakan.

“Persyaratan izin untuk tidak bekerja karena sakit yang diterapkan di perusahaan di Kawasan IMIP hanya akan merugikan buruh jika perusahaan tidak menyediakan fasilitas dan sistem kesehatan yang memadai untuk melayani lebih dari 50.000 buruh. Perusahaan di Kawasan IMIP harus mempermudah perkara administrasi bagi buruh yang sakit dan perusahaan harus menghentikan pemberlakuan jam kerja panjang yang berdampak pada kesehatan dan keselamatan buruh,” pungkas Henry.