Banjarmasin, 23 Februari 2024-Dalam peta jalan Perusahaan Listrik Negara (PLN), Indonesia punya target ambisius untuk tidak hanya memberlakukan co-firing hingga 10% di 52 PLTU, tapi juga co-firing 30% di seluruh PLTU baru.  Target tersebut berbanding terbalik dengan implementasinya, dimana rata-rata implementasi di 44 co-firing hanya mencapai angka 1,17%. Data ESDM di akhir 2023 menunjukkan, PLTU Asam-Asam di Kalimantan Selatan hanya mampu co-firing 0,47%. Implementasi yang jauh dari target ambisius tersebut disokong oleh justifikasi klaim netral karbon.

Kajian Trend Asia membantah klaim netral karbon dari program co-firing, karena 52 PLTU yang membutuhkan 10,2 juta ton biomassa, diperkirakan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton karbon dari proses produksi biomassa. Emisi karbon dari produksi biomassa dihasilkan oleh deforestasi dari pembukaan Hutan Tanaman Energi (HTE) yang tidak akan terbayar dari proses penanaman tanaman energi. Dan pembakarannya di PLTU akan menghasilkan sekitar 17,8 juta ton emisi karbon. Klaim netral karbon digunakan oleh PLTU untuk greenwashing, tampil hijau dan mendongkrak bauran energi terbarukan serta menunda pemensiunan.

Dalam kajian Trend Asia, akan dibutuhkan lahan seluas hingga 2,33 juta hektare atau 35 kali luas Jakarta untuk disulap menjadi HTE dalam rangka menyuplai PLTU co-firing. Hal ini akan memicu ancaman deforestasi dan konflik lahan. Saat ini sudah ada 31 konsesi PBPH-HT dengan luas 1,3 juta hektare yang berkomitmen mengalokasikan 220 ribu hektare lahannya ditanami tanaman energi. Demi memenuhi 2,33 juta hektare, masih dibutuhkan 2,1 juta hektare lagi, yang mungkin datang dari izin-izin baru. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), pada saat ini saja terdapat 420 ribu hektare hutan alam direncanakan dirusak (planned deforestation) untuk pembangunan HTE di 31 konsesi tersebut.

Kalimantan Selatan sendiri merupakan provinsi yang ditargetkan KLHK dengan penerbitan izin baru berupa hutan tanaman seluas 76.567 hektare, sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi. Bahkan lebih luas dalam dokumen FoLU Net Sink 2030 seluas 397.511 hektare hutan alam di Kalimantan Selatan terancam terdeforestasi jika tanpa ada aksi mitigasi yang riil sampai tingkat tapak. Pengembangan hutan tanaman termasuk HTE justru akan cenderung menjadi driver deforestasi.  Hutan seharusnya dijaga karena berperan vital dalam penyerapan karbon untuk mencapai net sink di tahun 2030.

Namun, KLHK justru memberikan kemudahan perizinan berupa eksklusivitas bagi perusahaan dengan memberikan 9 “karpet merah” pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan lahan, yang berasal dari penurunan fungsi & perubahan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, serta dari pemanfaatan hutan. Kebutuhan kayu untuk bioenergi akan semakin mendorong deforestasi dari ekspansi usaha perusahaan-perusahaan kehutanan dengan adanya kemudahan tersebut. 

Di Kalimantan Selatan, sudah ada 3 perusahaan yang mendapatkan eksklusivitas untuk pembangunan HTE, yakni PBPH-HT PT Jhonlin Agro Mandiri di Tanah Bumbu, PBPH-HT PT Inhutani II Senakin di Kota Baru, dan PBPH-HT PT Inhutani III Unit Pelaihari di Tanah Laut. FWI (2024) mencatat hutan alam yang terancam dirusak di 3 konsesi tersebut mencapai 9.319 hektare.

Selain hadirnya HTE di Kalimantan Selatan, terdapat juga PLTU co-firing, yaitu PLTU Asam-asam dengan kapasitas 4 x 65 MW dan rencana pembangunan PLTBio Mantuil, yaitu pembangkit bioenergi di Mantuil berkapasitas 10 MW. Keberadaan PLTU co-firing dan pembangkit bioenergi akan mendorong kebutuhan biomassa. Saat ini, PT Inhutani III Unit Pelaihari diduga menjadi pemasok PLTU Asam-asam, karena berada pada lokasi yang paling dekat dengan PLTU tersebut.

Meski diklaim sebagai energi bersih, pemanfaatan bioenergi kayu justru akan semakin mengancam hutan alam yang berperan vital sebagai salah satu penyerap karbon terbesar di dunia. Pengembangan HTE selama ini juga berdampak buruk pada masyarakat adat, seperti masyarakat Marind di Merauke dan masyarakat adat Mentawai. Masyarakat adat Dayak di Kalimantan Selatan, yang sudah lama terpojok di tanah mereka sendiri, juga akan berada di bawah ancaman. 

Kutipan

“Transisi energi melalui biomassa kayu sebagai sumber energi yang dianggap terbarukan, adalah aksi greenwashing, yang justru hanya akan menguntungkan korporasi batubara dan korporasi kehutanan. Emisi yang dihasilkan dari produksi dan pembakaran biomassa menjadi bukti bahwa biomassa bukan pilihan untuk transisi menuju energi bersih. Bagi korporasi, ini merupakan kesempatan untuk melakukan ekspansi yang akan memperbesar ketimpangan penguasaan lahan. Transisi energi harusnya mengeksklusi jenis energi yang merupakan solusi palsu mengatasi krisis iklim, dan mendorong solusi energi terbarukan dari komunitas, supaya terwujud transisi energi berkeadilan.”

Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Biomassa Trend Asia

“Strategi pengurangan emisi melalui pengembangan Hutan Tanaman Energi untuk memenuhi kebutuhan produksi biomassa kayu justru akan mendorong terjadinya deforestasi hutan alam secara besar-besaran. Untuk mencapai target net sink 2030 dari sektor FoLU (hutan dan penggunaan lahan) seharusnya membangun strategi mitigasi perlindungan hutan alam yang dapat diakui oleh para pihak. Salah satunya dengan menghentikan pengembangan hutan tanaman termasuk HTE yang justru menjadi driver deforestasi baru di Indonesia.”

Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI

“Pemerintah harus segera melakukan review dan audit perizinan industri ekstraktif di Kalimantan Selatan, termasuk 3 perusahaan PBPH Hutan Tanaman Energi, sebagai upaya untuk melindungi hutan Kalimantan Selatan yang sudah tidak mampu menampung izin baru, Pemerintah harusnya fokus merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan serta mewujudkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan, bukan malah menambah kerusakan hutan dan lahan dan mengancam keselamatan rakyat yang sudah hidup didalam dan diluar kawasan hutan.”

Kisworo, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan

“Dengan fokus pada pemberian izin baru kepada korporasi-korporasi untuk membangun hutan tanaman energi menyebabkan mandeknya pengakuan masyarakat hukum adat di Kalsel. Padahal masyarakat adat lebih awal hidup dan berkehidupan di dalam hutan. Keberpihakan terhadap masyarakat adat menjadi penting demi mewujudkan cita-cita masyarakat adat yang berdaulat mandiri dan bermartabat.”

Baderie, AMAN Kalsel dan Anggota LPMA

***

Foto: Nanang Sujana (CIFOR)/Flickr