Mongabay-Operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPb) Sorik Marapi  terus memakan korban.  Meskipun kebocoran gas beracun terus terjadi, pembangkit dengan pengelola PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal (Madina),  Sumatera Utara ini jalan terus, korban pun terus bertambah.

Teranyar, pada 22 Februari lalu, uji coba pembukaan sumur proyek PLTPb Sorik Marapi menyebabkan puluhan warga lokal keracunan karena diduga terpapar gas beracun.  Akibat insiden ini 75 warga Desa Sibanggor Julu, Puncak Sorik Marapi, dilarikan ke rumah sakit.

Menurut Muhammad Jafar Sukhairi,  Bupati Mandailing Natal yang diwawancarai usai melihat para  korban di rumah sakit, proses uji coba sumur Wilver 01 yang memakan korban warga itu disaksikan langsung tim dari Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM. Kepala Desa Sibanggor Julu juga berada di lokasi.

“Saat uji coba sumur wilver 01, tim dari EBTKE ketepatan berada di lokasi dan menyaksikan prosesnya. Jarak dari sumur dengan warga yang terpapar sekitar 700 meter. Korban mual muntah,  ada juga anak-anak. Para korban semua sudah dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif dari tim dokter yang ada,” kata Sukhairi.

Dia menyayangkan,  peristiwa ini berulang kali apalagi ketika proses uji coba sumur tim dari kementerian di lokasi. Seharusnya,  mereka yang lebih memahami dan tahu apakah proses uji coba aman atau tidak,  bisa jalan atau tidak.

Mestinya standard operating prosedure (SOP) bisa jalan sebelum proses-proses uji coba hingga tidak ada lagi jatuh korban warga sekitar proyek.

Dia pun menyerahkan kepada pihak berwenang untuk mengusut kejadian ini.

“Kami menyesalkan mengapa peristiwa ini kembali terulang. Harusnya sebelum proses uji coba pembukaan sumur sosialisasi terhadap masyarakat dilakukan oleh perusahaan. Apakah ini bagian dari bentuk kelalaian, kami menyerahkan kepada aparat kepolisian untuk mengusutnya,” ujar Sukhairi.

Dia bilang, semua korban sudah mendapatkan perawatan dari dua rumah sakit yang ditunjuk.

Beyrra Triasdian, Program Manager Energi Terbarukan Trend Asia menyatakan hal serupa. Menurut dia, meski geotermal dipercaya pemerintah sebagai energi bersih, nyatanya tidak jadi energi berkeadilan.

Pada dasarnya geotermal memiliki densitas energi besar hingga kerusakan juga sangat besar. Untuk itu, katanya, pemanfaatan energi panas bumi itu harus sangat hati-hati dan memiliki standar yang tidak hanya terbatas pada pengelola, juga standar keselamatan.

Kebocoran gas hingga menelan korban yang berulang itu membuktikan ketidakseriusan SMGP atas standar keselamatan masyarakat sekitar.

Padahal, katanya, perusahaan dapat izin dari negara dan harus bertanggung jawab atas dampak yang muncul.

Secara umum, katanya, proyek geothermal Indonesia rata-rata berada di lokasi yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Kalau bukan di hutan lindung dan konservasi, panas bumi kerap di wilayah berdekatan dengan pemukiman warga.

Pemerintah, katanya,  terkesan abai dengan segala ancaman kepada masyarakat dab lingkungan. Salah satu bukti, mengeluarkan panas bumi dari pertambangan dan mengganti dengan “pemanfaatan jasa lingkungan” dalam revisi UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ke UU No. 21/2014.  Juga UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja mengubah 35 pasal UU Panas Bumi.

Akibatnya, kata Beyrra, kerugian dampak proyek ini seringkali hanya membayar kerusakan sesaat, bukan keseluruhan. Kalau tidak ada tindakan negara dan perbaikan perusahaan, maka kasus Sorik akan terus berulang.

“Geothermal ini juga didorong sebagai energi solusi, tapi dengan banyak catatan teknis dan keselamatan.  Jadi, masalah terbarukan saja tidak cukup, harus adil dan berkelanjutan.”

Trend Asia menuntut, transisi energi harus benar-benar berkeadilan. “Geotermal termasuk hal yang dipertanyakan keadilannya. Contoh nyata, panas bumi di Sorik Marapi ini merugikan warga sekitar setiap fase.”

Baca selengkapnya…

Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia