Project Multatuli-“HEWAN pun membutuhkan air. Kalau tidak ada air, mati konyol kita,” Ratna merutuk.

Ratna kesal. Pipa yang saban hari mengalirkan air bersih ke rumahnya kini membawa sedimentasi lumpur. Ratna meyakini lumpur itu mengandung tanah bekas galian nikel PT Gema Kreasi Perdana, anak perusahaan Harita Group, pemilik tunggal izin konsesi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Sebab, air yang digunakan selama ini tak pernah sekeruh itu walau di musim hujan.

Ratna menangis. Hatinya teriris. Ia marah bercampur kecewa. Marah kepada perusahaan yang dianggapnya semena-mena. Kecewa kepada siapa saja yang mendukung beroperasinya perusahaan tambang di pulau yang luasnya hanya 706 km² itu.

Hari-hari berikutnya, Ratna harus menunggu berjam-jam hingga air cukup jernih agar bisa digunakan mandi dan mencuci pakaian dan perabotan dapur. Untuk keperluan memasak, Ratna terpaksa membeli air yang harganya Rp8.000 per galon. Kondisi air belum pulih saat Wawonii Tenggara kembali diguyur hujan pada 21 Mei 2023, menyebabkan sumber mata air kian keruh.

Beberapa jam setelahnya, pipa yang mengalirkan air dari satu-satunya bak penampungan yang digunakan warga selama ini terputus. Warga menduga ada “oknum” yang sengaja memutus pipa agar masalah air tercemar tidak tersebar luas.

Ratna sudah menduga hal ini jauh sebelumnya. Tak heran ia mati-matian menolak masuknya tambang.

“Kata mereka yang jual lahan, aktivitas tambang tidak ada dampaknya. Sekarang sama-sama kita cari air bersih. Mereka dikasih bodo-bodo perusahaan.”

“Hancur kami di sini,” suaranya meninggi.

Ibu dua anak ini sudah 58 tahun menetap di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Sejak lahir, berumah tangga, dan sekarang memiliki cucu. Walau hidupnya tak berjalan mulus-mulus saja, ia masih mampu memenuhi kebutuhan hidup dan bertahan sampai hari ini. Apalagi sekadar mendapatkan air bersih.

“Kami perjuangkan pulau ini karena di sini kami lahir. Di sini tumpah darah kami.”

Pulau Wawonii telah menyediakan segala yang dibutuhkan. Tanaman jambu mete, pala, cengkih, dan kelapa, cukup untuk menopang hidupnya. Ratna tak pernah tergiur lahannya ditawari uang ratusan juta rupiah. Uang dari perusahaan bisa habis dalam sekejap, katanya, tapi hasil perkebunan bisa dinikmati terus-menerus.

“Setahun hasil pala bisa berton-ton. Kita dibilang tolak rezeki. Lantas, ini bukan rezeki?”

Lagi pula, tanpa hadirnya tambang, Ratna merasakan hidupnya telah berkecukupan. Hasil perkebunan memungkinkannya menabung dan membeli berbagai keperluan hidup. Hasil kebun itu juga telah membawanya umrah pada awal tahun 2023.

“Biar tidak ada uang, kita masih bisa makan. Kita punya pemikiran jangan cuma sejengkal. Harus berpikir jauh ke depan. Kita punya anak cucu.”

Ratna beranjak ke halaman rumah. Di sana, biji dan bunga pala dijemur di bawah terik matahari. Ditatapnya biji-biji pala yang tak lama lagi menjadi rupiah.

Ratna berkata telah bosan menyampaikan keresahan hatinya. Suaranya hanya dianggap angin lalu oleh para pengambil kebijakan. Padahal, tambahnya, “perempuan yang dirugikan karena kami memasak dan mengurus dapur.”

Di tengah berbagai penolakan dan gejolak yang terjadi, eksavator perusahaan terus menggunduli lahan dan mengeruk tanahnya. Kendaraan-kendaraan pengangkut ore nikel tetap lalu lalang menuju pelabuhan, yang letaknya hanya 200-an meter dari rumahnya.

Gugatan Hukum

Pulau Wawonii seluas 706 km² termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil sesuai Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km². Dengan demikian, sebagaimana diamanatkan undang-undang tersebut, aktivitas pertambangan tidak boleh dilakukan di Pulau Wawonii.

Ada 2.214 jiwa penduduk yang tinggal di Desa Dompo-Dompo Jaya (441 jiwa), Sukarela Jaya (550 jiwa), Roko-Roko (582 jiwa), Bahaba (160 jiwa), dan Teporoko (481 jiwa) yang terdampak penambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana, sebut kelompok masyarakat sipil terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), JATAM, KIARA, Trend Asia, dan LBH Makassar.

PT Gema Kreasi Perdana mendapatkan izin eksplorasi bahan galian nikel dan mineral pengikut sejak 2007. Pada akhir tahun 2019, anak usaha Harita Group ini mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi seluas 850,9 ha. Seluas 707,10 ha konsesi perusahaan merupakan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Perusahaan mendapatkan wilayah izin area proyek seluas 192,4 ha serta pembangunan terminal khusus di perairan Selat Wawonii seluas 13,3 ha.

Menurut kelompok masyarakat sipil, pengerukan tambang nikel hingga pembuatan dermaga untuk tambang dengan menimbun perairan di Wawonii telah merusak ekosistem mangrove, terumbu karang, dan perairan. Keruhnya sungai menyebabkan warga semakin sulit mendapatkan ikan. Dermaga perusahaan juga menyebabkan ikan menjauh. Aktivitas pengangkutan ore nikel yang menghasilkan debu tebal mengganggu pernapasan warga, sebut koalisi.

Koalisi menaksir korporasi telah melakukan pengapalan ore nikel lebih dari 100 kali untuk diolah di fasilitas pemurnian atau smelter milik Harita Group di Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara. Harita Group, berkantor pusat di Jakarta, merupakan perusahaan raksasa di sektor sumber daya alam, mulai dari bisnis pertambangan nikel, bauksit, batu bara, perkebunan sawit, perkapalan, dan perkayuan. Perusahaan ini dimiliki keluarga Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.

Sekalipun sudah dilindungi undang-undang, Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2021 tentang RTRW Konawe Kepulauan 2021-2041 menetapkan alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Konawe Kepulauan, Pulau Wawonii.

Warga Wawonii, yang diwakili firma hukum Denny Indrayana, mengajukan uji materiil perda tersebut. Pada 22 Desember 2022, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan warga.

Dalam putusan No. 57 P/HUM/2022, Mahkamah Agung menyebutkan Pulau Wawonii merupakan “pulau kecil … yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem … termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity … yang harus dilarang … karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup.”

Mahkamah Agung juga menyebut Perda RTRW tersebut “… mengabaikan aspirasi masyarakat … melalui demo besar-besaran pada 6 Maret 2019 … menolak kegiatan usaha pertambangan.” Mahkamah memerintahkan Bupati dan DPRD Konawe Kepulauan merevisi Perda RTRW tersebut.

Namun, PT Gema Kreasi Perdana, diwakili direktur utamanya Rasnius Pasaribu lewat kuasa hukum Asmansyah & Partners, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagai respons atas putusan Mahkamah Agung. Pokok gugatannya adalah pasal 23 ayat 2 dan pasal 35 huruf k dalam undang-undang tersebut, yang intinya melarang aktivitas penambangan mineral.

Pengacara perusahaan menilai Mahkamah Agung menafsirkan kedua pasal itu sebagai “larangan tanpa syarat” atas kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil padahal perusahaan “telah memiliki izin yang sah” sehingga “terancam harus menghentikan kegiatannya dan berpotensi mengalami kerugian konstitusional dan ekonomi.”

Perusahaan, dalam surat permohonan ke Mahkamah Konstitusi, menyebut telah mengeluarkan total investasi Rp37,5 miliar dan 77,3 ribu dolar AS sejak 2007, selain telah menyalurkan lebih dari Rp70 miliar atas pembayaran “pembebasan tanam tumbuh kepada masyarakat” sebagai “ganti untung” atas tanaman yang terdampak pertambangan pada lahan seluas 568 ha.

Perusahaan mengajukan permohonan perkara itu pada 28 Maret 2023. Berkas  permohonannya pun sudah direvisi dan disidangkan pada 9 Mei. Mahkamah sudah menggelar sidang untuk perkara nomor 35/PUU-XXI/2023 itu pada 31 Agustus. Sidang berikutnya dijadwalkan pada 12 September. Tahapan selanjutnya adalah sidang putusan.

Koalisi masyarakat sipil berpendapat Mahkamah Konstitusi seharusnya menolak judicial reviewyang diajukan PT Gema Kreasi Perdana untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia dari cengkraman industri pertambangan.

“Jika dikabulkan, aktivitas tambang tak cuma dilegalkan di Pulau Wawonii, tapi seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,” Wildan Siregar dari Trend Asia mengingatkan. “Kerusakan ekologis hingga konflik sosial akibat perusahaan tambang yang tidak menaati Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 akan semakin masif.”

Baca selengkapnya…

Foto: Project M/Riza Salman