Mongabay.co.id-Akhir Juni lalu, masyarakat aksi di depan Kantor Kedutaan Besar Korea Selatan. Mereka meminta Presiden Korsel, Moon Jae In membatalkan rencana membiayai proyek PLTU Jawa 9&10 di Cilegon, Banten.

PLTU Jawa 9&10 termasuk program listrik 35.000 megawatt yang disepakati PT Indo Raya Tenaga, PT Hutama Karya dengan Doosan Heavy Industries and Construction asal Korsel.

Investasi proyek ini mencapai US$3,2 miliar, didanai Korea Development Bank (KDB), Korea Export-Import Bank (K-Exim), K-Sure bersama perusahaan listrik nasional Korsel, Kepco dan PLN.

Dalam aksi, masyarakat sipil membawa minatur PLTU, batubara dan spanduk yang mempertanyakan kepekaan Presiden Korsel terhadap krisis lingkungan karena aktivitas PLTU batubara.

Sebelumnya, Trend Asia, Walhi Jakarta dan Pena Masyarakat meluncurkan laporan “Racun Debu di Kampung Jawara,” berisi analisis risiko proyek pembangunan PLTU Jawa 9&10.

Laporan ini juga mengekspos bagaimana komitmen baru green new deal partai pendukung Presiden Moon Jae In, tak relevan, karena masih mendukung kebijakan investasi kotor di luar negeri.

Andri Prasetyo, Periset dan Pengkampanye Trend Asia mengatakan, PLTU Jawa 9&10 adalah proyek investasi yang tak relevan, sangat dipaksakan dan tak strategis.

Proyek juga berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi besar baik bagi Korsel maupun Indonesia. Terlebih, katanya, dalam krisis pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), proyek ini hanya menambah rentan ketahanan kesehatan warga.

“Apabila proyek ini tetap dipaksakan, kualitas lingkungan, baik itu di hilir termasuk ekosistem perairan laut, maupun di hulu, di daerah pertambangan, akan makin menurun dan rusak,” katanya, saat peluncuran laporan baru-baru ini.

Dalam laporan disebutkan, kalau proyek lanjut, menyebabkan 4.700 kematian dini, sebagian besar karena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat pencemaran udara dari pembakaran batubara.

Andri mengatakan, meski pemerintah merevisi standar baku mutu emisi PLTU tahun lalu, namun tetap lebih lemah dibanding negara lain. Kondisi ini, katanya, mengundang negara lain yang telah menghentikan proyek batubara di negara mereka dengan memindahkan ke negara lain seperti Indonesia dan Kamboja.
Risiko lain oleh pemodal, katanya, kelebihan kapasitas di jaringan Jawa-Bali. Menurut laporan ini, perencanaan buruk PLN, dan korupsi mengakar pada proyek batubara, menggiring PLN ke masalah keuangan dan membahayakan APBN.

Andri mencontohkan, proyek PLTU Cirebon 1 juga menyeret sejumlah nama pengembang proyek seperti Doosan Heavy Industries dan Hyundai Construction and Engineering.

“Ini jadi preseden buruk bagi bisnis energi kotor serta risiko terhadap reputasi.”
Untuk itu, katanya, sudah seharusnya Korsel menarik diri dari pembiayaan pembangunan PLTU Jawa 9&10 di Banten. Proyek ini, katanya, tak ada justifikasi dari utilisasi kepentingan rakyat.

Selain itu, kebutuhan listrik anjlok, ditambah pandemi, pembangunan PLTU ini jadi proyek tak strategis dan tidak menguntungkan di masa depan.
“Proyek ini tidak relevan dalam konteks apapun. Dalam konteks perubahan iklim, pendanaan dan krisis saat ini.”

Andri menekankan, pemerintah harus membatalkan proyek ini guna melindungi lingkungan dan kesehatan warga.

Investasi ini, katanya, juga bertentangan dengan komitmen green new deal Korel, sebagai upaya penghapusan sumber energi batubara.

Sejong Youn, Director of Overseas Coal Program Solutions for Our Climate mengatakan, Kepco tampaknya bersikeras mendanai PLTU Jawa 9&10 meski berbagai organisasi masyarakat sipil baik dalam maupun luar negeri menolak keras.

“Kepco mencari persetujuan dewan untuk proyek Jawa 9&10 meskipun studi Korea Development Institue telah berulang kali memperingatkan bahwa proyek ini memiliki profitabilitas negatif dalam studi pra-kelayakan,” katanya.

Selengkapnya …