Forest Digest-HINGGA 2025, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akan menerapkan co-firing di 54 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Sampai tahun lalu PLN sudah uji coba di 47 pembangkit. Co-firing adalah pencampuran bahan bakar PLTU batu bara dengan biomassa yang digolongkan ke dalam energi terbarukan.

Dalam rencana PLN, co-firing biomassa PLTU batu bara itu akan menghasilkan listrik 12,71 terra watt jam (TWh). Angka ini setara dengan bauran energi terbarukan sebanyak 3,59%. Dari pembakaran biomassa itu, penurunan emisi 11,58 juta ton setara CO2.

Ada empat jenis biomassa yang akan dipakai PLN dalam co-firing biomassa ini: hutan energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri, dan sampah rumah tangga. Dengan memakai teknik pengeringan sampah (RDF plant), sampah rumah tangga bisa menjadi pelet yang sama seperti kayu.

Kebutuhan biomassa untuk menyuplai PLTU batu bara itu akan datang dari hutan tanaman energi (HTE) sebesar 49.578 hektare dengan biomassa sebanyak 991.560 ton. Sementara limbah pertanian berupa tongkol jagung dan areng hampir 10,5 juta ton. Dan sampah kering rumah tangga bisa tembus 68,5 juta ton—jika hanya melihat jumlah sampah tahunan seluruh Indonesia.

Bagi Trend Asia, LSM, hitung-hitungan PLN itu kurang masuk akal. Menurut Amalya Reza Oktaviani, manajer program Trend Asia, PLTU co-firing biomassa hanya solusi palsu energi baru terbarukan. Soalnya, kata dia, co-firing tetap menghasilkan emisi gas rumah.

Di ranah internasional, kata Amalya, status energi biomassa sebagai bahan bakar bersih dan netral karbon juga masih diperdebatkan. “Klaim co-firing biomassa netral karbon adalah klaim yang keliru, karena seluruh emisi yang dihasilkan dari mulai pembukaan hutan hingga pembakaran biomassa di PLTU akan menjadi hutang karbon yang tidak mungkin dilunasi dari penanaman hutan tanaman energi,” kata Amalya.

Dalam dokumen kontribusi nasional yang ditetapkan atau nationally determined contributions(NDC), co-firing biomassa memmbutuhkan 9 juta ton biomassa untuk menghasilkan listrik. Perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan setidaknya perlu 10,2 juta ton biomassa untuk menyuplai bahan bakar 52 PLTU. “Hanya 10 persen, 90 persen masih batu bara. Banyak banyak hutan yang akan dikonversi?” tanya Amalya.

Menurut Amalya, konsep awal co-firing PLTU batu bara adalah memanfaatkan limbah. Strategi ini berubah dengan bergantung kepada hutan tanaman energi sebanyak 80%. Artinya, sumber energi berasal dari pohon yang ditanam. “Ini kan gagal dong dari klaim awal bahwa ini akan memanfaatkan limbah?” kata dia. Saat ini pasokan bahan bakar biomassa baru 0,45 juta ton.

Berbeda dengan klaim PLN, riset Trend Asia menunjukan co-firing di 52 PLTU memproduksi emisi hingga 26,48 juta ton setara emisi karbon atau dua kali perhitungan PLN. Karena bahan bakar berasal dari biomassa pohon, co-firing PLTU batu bara akan menimbulkan deforestasi 2,33 juta hektare.

Amalya mencontohkan PLTU Jeranjang di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Desain awal PLTU ini memanfaatkan pelet sampah. Karena suplai sampah tidak berkelanjutan, PLTU ini memakai serbuk gergaji kayu. Sama halnya dengan PLTU Suralaya.

Maka klaim co-firing biomassa netral karbon, kata Amalya, perlu ditinjau lagi. Apalagi, klaim ini kemudian jadi dasar memasukkan PLTU dalam off set perdagangan karbon. Bagi Amalya, jika skema ini diterima, yang untung tetap saja industri batu bara, bukan program transisi energi. “Maka co-firing PLTU batu bara jadi menghambat mitigasi krisis iklim,” kata dia.

Baca selengkapnya…

Foto: Kondisi bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM) Saliguma, Siberut Tengah, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat tampak terbengkalai, awal Desember 2022 lalu. (Melvinas Priananda/Trend Asia)