Makassar, 20 Juli 2023-Huadi Group memiliki enam perusahaan smelter nikel di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Sulawesi Selatan. Empat dari smelter nikel itu telah beroperasi, yakni PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry II. Sementara smelter nikel yang dalam tahap konstruksi, yaitu PT Hanseng New Material dan PT Unity. Pemerintah Kabupaten Bantaeng menilai smelter nikel tersebut dapat menjadi sumber pendapatan dan penyerap tenaga kerja yang besar.

Namun, laporan yang diluncurkan Lembaga Bantuan Hukum Makassar dan Trend Asia bertajuk “Bertaruh Pada Smelter” menemukan, kehadiran smelter nikel yang digadang-gadang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru mematikan ekonomi warga yang berpusat pada produksi rumput laut dan pembuatan batu bata merah. Pasalnya, limbah industri yang mencemari air sungai berdampak pada produksi rumput laut. Selain itu, muncul kekeringan yang diduga akibat penggunaan air tanah oleh perusahaan yang memiliki sumur bor. Hal ini terjadi khususnya di Desa Papan Loe dan Desa Borong Loe.

Mayoritas warga yang berprofesi sebagai pengrajin batu bata merah membutuhkan air bersih dalam produksi bata merah. Karenanya, warga harus menadah air di tengah malam karena air bersih mulai mengalir ketika malam. Kekeringan juga membuat warga harus membeli air kemasan atau membuat sumur bor dengan kedalaman 50 meter untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Penghasilan warga tak menentu, sementara pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan air bersih terus bertambah.

“Smelter berada di Kecamatan Pajukukang yang dianggap sebagai wilayah kering dan panas. Ketika daerah lain hujan, belum tentu di Pajukukang hujan juga terjadi. Atas dasar itu, pemerintah menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan industri karena disebut tidak memungkinkan untuk aktivitas pertanian. Pemerintah tidak menghitung, di tengah kekeringan yang dimaksud pemerintah, warga sekitar justru menemukan sumber ekonominya sendiri, berupa kerajinan batu bata, beternak dan bertani rumput laut,” ujar Ady Anugrah Pratama, periset laporan “Bertaruh Pada Smelter” dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar.

“Ketika smelter datang, terjadi kekeringan. Masyarakat sudah kesulitan mendapatkan air, baik untuk kebutuhan sehari-hari sampai ke pengrajin batu bata merah atau batu eja yang butuh air untuk produksinya. Ini dampak yg dikeluhkan masyarakat, terutama di Dusun Mawang,” lanjut Ady.

Ada dugaan Huadi Group menggunakan air tanah dengan membuat sumur-sumur bor untuk memenuhi kebutuhan smelternya. Padahal, jika merujuk pada dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), PT Huadi Nickel Alloy Indonesia akan menggunakan hasil penyulingan air laut untuk kebutuhan produksinya. Padahal Kementerian Perindustrian telah mengeluarkan surat edaran nomor B/284/KPAII.3/IV/2022 tanggal 14 April 2022 melarang pemakaian air bawah tanah bagi perusahaan industri dalam kawasan industri.

Selain itu, limbah cair dari perusahaan smelter nikel pertama KIBA, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (PT HNI) yang langsung dibuang ke laut mengakibatkan air berwarna cokelat dengan bau yang menyengat. Limbah tersebut mengalir ke sungai di bawah jembatan Dusun Kayu Loe, Desa Papan Loe, Kecamatan Pajukukang.

Akibatnya, petani rumput laut yang berada di dekat jetty atau dermaga mengeluhkan produksi rumput lautnya yang rusak dan gagal panen. Perusahaan telah berjanji akan memberikan ganti rugi, tetapi janji tersebut belum ditepati. Selain itu, dua sungai di Mawang dan Balla Tinggia ditutup dan ditimbun oleh PT HNI.

Warga yang bermukim di Dusun Mawang, Kayu Loe, dan Balla Tinggia mengalami gangguan kesehatan, seperti batuk dan iritasi mata akibat asap dan partikel debu dari smelter nikel. Pasalnya, tiga dusun tersebut berada di sisi kanan, kiri, dan belakang smelter. Perusahaan berjanji akan memberikan uang kompensasi akibat polusi debu, tetapi janji tersebut belum pernah ditepati. Di Dusun Mawang juga ada bau menyengat dari smelter nikel yang bisa tercium hingga ke Desa Layoa, Kecamatan Gantarangkeke. Puncak bau menyengat terjadi di malam hari. Radius bau akan semakin bertambah seiring kencangnya angin.

PT HNI pernah mendapatkan sanksi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas pelanggaran dan ketidaktaatan pengendalian pencemaran air, pencemaran udara, pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah non-B3, dan persetujuan lingkungan. Namun, belum ada perubahan dari perusahaan karena warga masih mengeluhkan pencemaran lingkungan akibat aktivitas smelter.

Selain itu, pasca disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja dan Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara, kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam penerbitan izin usaha pertambangan, membuat warga kesulitan untuk melaporkan perusahaan yang merangsek ruang hidup mereka karena kewenangan keputusan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Dari beragam masalah yang telah terjadi yang diakibatkan oleh industri nikel, kerugian tentu akan dirasakan oleh warga sekitar terlebih dalam proses menuntut keadilan.

“Kalau proses pergerakan dalam kebijakan sektor tambang, revisi UU Pemda Tahun 2014 sudah menggeser kewenangan sektor pertambangan dan sumber daya alam di pesisir. Kewenangan tidak lagi di Kabupaten dan Kota, tapi Pemerintah Provinsi. Ini semacam praktik uji coba, bagaimana regulasi digeser pelan-pelan dan sentral kebijakan ada di Omnibus Cipta Kerja dan UU Minerba yang mengatur kewenangan ke pemerintah pusat. Secara geografis ini menyulitkan masyarakat melakukan mekanisme komplain. Ketika dulu masyarakat yang menolak bisa ke pemerintah Kabupaten atau Kota, sekarang sudah tidak lagi. Dulu pemerintah daerah ada kewenangan dalam pencabutan. Hari ini hal itu sangat susah jika ingin komplain dan menggerakkan massa karena sekarang semua harus ke Jakarta,” jelas Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Huadi Group telah menjanjikan bahwa warga bisa bekerja di smelter nikel, tetapi proses seleksinya sarat nepotisme. Adapun karyawan smelter dihadapkan dengan potensi kecelakaan kerja yang tinggi. Pasalnya, perusahaan tidak memberikan alat pelindung diri yang memadai.

Hingga kini telah terjadi 13 kecelakaan kerja di KIBA. Lima korban meninggal dunia dan sebagian mengalami disabilitas. Ketika kecelakaan kerja terjadi, perusahaan bernegosiasi dengan pihak keluarga dan memberikan tawaran mempekerjakan anggota keluarga lain untuk menutup kasus tersebut. Dengan begitu, tidak ada sama sekali proses evaluasi dan perbaikan kondisi kerja, sehingga kecelakaan kerja terus terjadi.

“Bicara kecelakaan kerja, 13 korban itu bukan angka yang rendah. Dalam riset Trend Asia tentang kecelakaan kerja di wilayah industri nikel di Sulawesi dan Maluku, ada 47 korban meninggal dunia dan 10 korban dugaan bunuh diri. Lalu ada juga dampak lingkungannya, seperti yang terjadi di Bantaeng. Ini semua adalah hasil dari regulasi dan oligarki yang membuat Indonesia mundur 40 tahun. Dengan asumsi Indonesia membutuhkan dana pasca-COVID, maka harus menurunkan dan melonggarkan standar. Padahal kedua hal itu tidak ada hubungannya. Kita memang harus memasang standar tinggi yang menghormati manusia dan alam,” ujar Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry.

***

Tautan foto: https://s.id/Foto_BertaruhPadaSmelter
Tautan laporan: https://trendasia.org/bertaruh-pada-smelter/

Foto: LBH Makassar