Jakarta, 14 Agustus 2023Kerja sama eksplorasi ladang gas senilai 4 juta dolar di lepas pantai Jawa Timur,  Indonesia, antara perusahaan Korea POSCO International Corporation dengan Pertamina Hulu Energi adalah kesepakatan bisnis kotor yang mencederai komitmen iklim global Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol dan Presiden Indonesia Joko Widodo. Rencana bisnis ini juga menjadi batu sandungan pada saat Indonesia tengah mendorong transisi energi.  

Kesepakatan eksplorasi gas Blok Bunga ini disepakati pada akhir Juli kemarin dengan luas area mencapai 8500km² dan kedalaman 50 hingga 500 meter dengan taksiran cadangan gas mencapai 1.3 miliar barel1

“Gas adalah energi fosil yang selama ini dicap “bersih”, padahal seperlima emisi CO2 global pada tahun 2019 berasal dari pembakaran gas. Ia juga punya emisi metana yang bahkan lebih merusak daripada CO2. Kerjasama ini akan mengunci Indonesia sebagai negara penghasil emisi di masa mendatang yang memperparah krisis iklim global,” kata Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia.

Sebuah riset oleh Environmental Defense Fund menemukan bahwa hingga 60% gas metana bocor sepanjang jalur suplai-nya di Amerika Serikat2. Padahal gas metana memiliki dampak pemanasan global 86 kali lipat lebih besar daripada CO2 dalam rentang waktu 20 tahun3.

Sebelumnya, Indonesia dan Korea Selatan turut menandatangani Komitmen Metana Global pada COP 26 di Glasgow yang berkomitmen untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi metana global setidaknya 30% pada 2030, yang dapat mengurangi lebih 0.2 C pemanasan global pada 20504. Perlu diketahui bahwa pada 2010 hingga 2019, gas menyumbang laju kenaikan emisi CO₂ global terbesar hingga 42% dan pada 2020 menyumbang sekitar 60% emisi metana dari produksi bahan bakar fosil5

“Ekspansi gas fosil akan menghambat komitmen Indonesia dan Korea Selatan dalam Komitmen Metana Global dan mengejar target transisi energi masing-masing negara. Padahal, dua kekuatan ekonomi ini punya potensi sangat besar untuk bekerja sama dalam mendorong transisi dari energi fosil ke energi terbarukan,” ujar Dongjae Oh dari Solutions for Our Climate.

Blok Bunga akan menjadi proyek eksplorasi gas keempat bagi POSCO di Asia setelah Myanmar, Malaysia dan Australia. Diperkirakan hingga tahun 2025 POSCO akan menghabiskan 1,3 triliun won atau mencapai US$1 miliar untuk proyek eksplorasi minyak dan gas luar negeri-termasuk proyek eksplorasi gas Bunga¹. Untuk tiga tahun pertama tahap eksplorasi nilai investasi Komitmen Pasti Blok Bunga sebesar US$4 juta atau sekitar 60 miliar rupiah dengan durasi pengelolaan selama tiga dekade6

Durasi pengelolaan ladang gas yang berumur panjang berpotensi mengunci Indonesia  dan Korea Selatan dalam laju peningkatan keluaran emisi gas rumah kaca dalam beberapa dekade mendatang. Analisa dari Global Energy Monitor², menyatakan bahwa ekspansi konsumsi gas di Asia tidak sejalan dengan skenario mencapai emisi nol bersih yang akan berupaya membatasi laju kenaikan suhu global hingga 1.5C sesuai dengan Perjanjian Paris. Proyek ini hanya akan menambah buruk peringkat ketidaksesuaian komitmen iklim Indonesia7 dan Korea Selatan8 yang tidak konsisten dengan target Perjanjian Paris. 

Kami mendorong POSCO International untuk berhenti mengembangkan energi fosil di negara kami, dan menghambat transisi ke energi terbarukan untuk mengejar netralitas karbon. Daripada berisiko terjebak dalam aset terdampar, selagi dunia bertransisi dari energi fosil, POSCO International seharusnya mendukung transisi energi dengan menggunakan kepakaran teknis mereka dan berinvestasi pada teknologi penyimpanan energi dan energi terbarukan,” ujar Novita.

Tidak hanya itu, konsorsium ini pun berencana untuk mengeksplorasi potensi penggunaan teknologi  CCS/CCUS dan potensi proyek blue hydrogen/ammonia¹ yang mana hanya sebagai upaya kosmetik industri energi fosil melindungi “keberlanjutan” kepentingan bisnis mereka. 

“Untuk menghindari bencana iklim, kita harus mengurangi emisi global hingga setengah sebelum akhir dekade ini. Namun perusahaan migas Korea Selatan malah mendorong pengembangan gas di Asia dengan distraksi berbahaya, seperti CCS dan hidrogen-ammonia, yang mahal dan tidak terbukti. Hal ini memaparkan mereka pada risiko legal dan finansial saat semakin banyak perusahaan dituntut akuntabel terhadap dampak aktivitas mereka terhadap iklim,” ujar Dongjae Oh.

Dalam perhitungan skenario IEA, ekspansi gas yang selaras dengan melawan perubahan iklim seharusnya memuncak pada 2025 dan menurun drastis hingga 2050. Dalam skenario ini, sama sekali tidak ada alasan untuk meningkatkan produksi gas fosil.

“Di tengah desakan publik global untuk lepas dari ketergantungan energi fosil dan orientasi dunia yang menuju rendah karbon, sudah tidak ada ruang lagi buat proyek energi fosil seperti ini. Sudah seharusnya Indonesia serius dalam mendorong transformasi energi berkeadilan, dengan memaksimalkan potensi energi terbarukan yang semakin murah dan handal,” tegas Novita.

Catatan Referensi:

¹https://www.kedglobal.com/energy/newsView/ked202307250015 

2https://www.science.org/doi/10.1126/science.aar7204

3 https://globalenergymonitor.org/report/asias-gas-lock-in/ 

4https://www.globalmethanepledge.org/#about 

5 Why Gas is a the New Coal, Climate Analytics, November 2021

6https://www.pertamina.com/id/news-room/energia-news/pt-pertamina-hulu-energi-tanda-tangani-kontrak-kerja-sama-pengelolaan-wilayah-kerja-bunga 

https://climateactiontracker.org/countries/indonesia/ 

https://climateactiontracker.org/countries/south-korea/ 

 

Kebutuhan foto:

https://bit.ly/fossilclimateimpact 

 

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia