BBC-Kasus korupsi tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, yang menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat negara menunjukkan masih terbukanya “celah kongkalikong” di tengah tata kelola industri nikel yang “carut marut”, kata sejumlah pegiat lingkungan dan antikorupsi.

Dalam perkembangan penyidikan pada Rabu (9/8), Kejaksaan Agung menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, sebagai tersangka.

Ridwan disebut membuat keputusan yang berkontribusi memuluskan praktik pertambangan ilegal di lahan konsensi milik PT Antam Tbk. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp5,7 triliun.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, meminta pemerintah mengevaluasi seluruh izin dan praktik pertambangan nikel di Indonesia.

“Kasus ini hanya semacam puncak gunung es yang sudah lama terjadi, tapi tidak pernah ada penegakan hukum yang tegas,” kata Melky.

“Semestinya apa yang terjadi di Mandiodo ini jadi pintu masuk untuk mengusut praktik korupsi serupa di nikel,” sambungnya.

Menanggapi penetapan tersangka itu, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi, menyatakan “prihatin” dan “menghormati proses hukum yang berjalan”.

“Ini jadi bagian penting bagi kami untuk meningkatkan pelayanan dalam perizinan, perbaikan sistem, dan pelayanan khususnya di Ditjen Minerba,” kata Agung.

Di tengah tingginya permintaan global terhadap nikel, Indonesia berambisi menjadi produsen baterai terbesar di dunia. Pertumbuhan industri nikel terus digenjot, dan yang paling masif terlihat di Sulawesi.

Pada 2021 misalnya, pemerintah menerbitkan 293 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Sulawesi.

Namun peneliti Trend Asia, Zakki Amali, menilai ambisi itu tak diimbangi dengan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.

Akibatnya, praktik penambangan nikel ilegal muncul “dengan leluasa” dan justru merusak lingkungan.

Bagaimana kronologi dan modusnya?

Baca selengkapnya…

Foto: ANTARA