Jakarta, 10 Agustus 2023–PT Gema Kreasi Perdana (GKP) tidak memiliki legitimasi untuk melakukan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Pasalnya, Kabupaten Konawe Kepulauan memiliki luas daratan sekitar 706km2, sedangkan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000km2. Dengan demikian, Kabupaten Konawe Kepulauan masuk dalam kategori pulau kecil yang dikecualikan untuk kegiatan pertambangan.

Meski demikian, anak perusahaan dari Harita Group itu telah melakukan aktivitas pertambangan yang mencemari sumber air warga Pulau Wawonii. Padahal dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara tidak terdapat alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan. Namun, Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan menetapkan alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan.

Alhasil Desa Sukarela Jaya, Dompo-dompo, Roko-roko, Bahaba, dan Teporoko mengalami krisis air bersih. Ada total 2.214 jiwa penduduk yang tinggal dalam lima desa itu. Tiga sumber mata air yang digunakan warga kini keruh akibat bercampur dengan material lumpur. Tak jauh dari sumber mata air itu ada jalan tambang yang dilalui truk bermuatan ore nikel dari area penambangan di atas bukit ke dermaga pemuatan. Imbasnya warga tak lagi memiliki akses air bersih untuk aktivitas sehari-hari, seperti mandi, mencuci, hingga air untuk dikonsumsi [1].

PT GKP juga melakukan penyerobotan lahan tanaman cengkeh pukul 11.00 WITA, 9 Agustus 2023. Akibatnya tanaman milik warga hancur karena digusur alat berat milik perusahaan. Sejak pagi hari ini warga bersama-sama melindungi kebun cengkeh yang telah dirangsek dan memaksa alat perusahaan untuk segera keluar dari lahan milik mereka.

“Kami kesulitan air bersih. Pemerintah dan perusahaan menggalikan sumur, tetapi sumur itu tidak bisa dikonsumsi karena airnya asin. Jadi ada pengeluaran khusus lagi untuk membeli air bersih. Lahan kebun cengkeh kami juga diterobos oleh perusahaan. Karena itu semua jenis tambang di Wawonii harus angkat kaki,” kata Amlia, seorang petani cengkeh dari Wawonii.

Pencemaran lingkungan itu yang mendorong warga menyuarakan protes atas aktivitas tambang PT GKP, salah satunya dengan mengajukan permohonan judicial review Perda Nomor 2 Tahun 2021 yang bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 ke Mahkamah Agung. Desember 2022, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan warga dan membatalkan beberapa pasal yang mengatur alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan.

Akan tetapi, PT GKP tidak menerima putusan dari MA dan mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 35 huruf k dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut berbunyi: “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.”

Kata “apabila” dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada kerugian warga. Permohonan judicial review oleh PT GKP merupakan upaya perusahaan untuk melegalkan kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii. Asas dari UU Nomor 27 Tahun 2007 sendiri sebagai perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari kerentanan konflik sosial maupun perusakan lingkungan. Pokok dari Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 juga memuat larangan terhadap kegiatan penambangan pasir, minyak gas, dan mineral karena berdasar pada aspek kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Jika permohonan PT GKP dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka aktivitas tambang tak hanya dilegalkan di Pulau Wawonii, tetapi seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Dengan demikian, kerusakan ekologis dan konflik sosial akibat perusahaan tambang yang tidak menaati UU Nomor 27 tahun 2007 akan semakin masif.

“Indonesia sebagai negara kepulauan telah berkomitmen untuk melindungi keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Implikasi secara ekologis dan sosial akibat aktivitas pertambangan ini harus diprioritaskan dan menjadi pertimbangan besar oleh Mahkamah Konstitusi dalam membuat keputusan terkait judicial review yang diajukan PT GKP. Perspektif keadilan dan keberlanjutan ekologis untuk mencegah timbulnya potensi kerugian bagi warga yang selama ini mengelola pulau-pulau kecil harus dipertimbangkan,” ujar Teo Reffelsen dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Kehadiran tambang merampas ruang hidup warga Pulau Wawonii dengan menyerobot dan merusak perkebunan warga. Tercatat ada lebih 30 orang yang dikriminalisasi karena mempertahankan kebunnya. Enam di antaranya ditangkap dan dipenjarakan [2]. Awal Agustus ini Aliansi Mahasiswa Peduli Wawonii (AMPW), Sulawesi Tenggara melakukan aksi untuk menuntut PT GKP menghentikan aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii. Namun, AMPW menerima aksi kekerasan dari pihak kepolisian[3].

“Mahasiswa akan selalu beraliansi menyuarakan hal-hal yang jadi kekhawatiran warga Wawonii. Sejak tambang masuk, warga banyak merasakan kerugian lingkungan, sosial, dan ekonomi. Ketika kami, mahasiswa, pulang ke Wawonii kami melihat orang tua kami berhadapan dengan perusahaan untuk memperjuangkan ruang hidup mereka. Sumber air yang jernih bahkan sudah tidak bisa kami manfaatkan lagi akibat aktivitas pertambangan selama kurang lebih satu tahun,” ujar Aan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Wawonii.

Warga Pulau Wawonii secara turun-temurun menggantungkan hidup dari bertani, berkebun, dan melaut. Kegiatan pertambangan yang dilakukan PT GKP merampas sumber kehidupan warga, menimbulkan kerusakan sumber mata air, dan menghilangkan lahan perkebunan jambu mete, pala, cengkeh hingga kelapa milik warga. Pulau-pulau kecil yang mengandung keindahan pesisir Indonesia penting untuk mendapatkan perlindungan lingkungan maupun sosial.

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Muhammad Jamil mengatakan, maraknya kehadiran tambang nikel di Indonesia akibat gencaran transisi energi (elektrifikasi berbasis baterai nikel) oleh pemerintah, sebagai agenda penciptaan kemiskinan sistematis. Jelas pelanggaran konstitusi. Sebab harusnya Fakir Miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara Pasal 34 UUD 1945, bukan justru diproduksi.

Kehadiran tambang umumnya menghilangkan pekerjaan penduduk di sekitar lokasi tambang yang sejak lama berprofesi sebagai petani kebun dan nelayan. Di daratan lahan-lahan pertanian dan perkebunan dirusak, pohon-pohon hutan ditebang diubah menjadi lubang tambang beracun dan mematikan. Sementara itu, di pesisir-laut penduduk yang bergantung kehidupan dengan mencari ikan turut dikorbankan. Sebab, limbah tambang itu mengalir ke sungai, pesisir hingga laut.

“Kalau sudah begitu, bagaimana nelayan dan masyarakat asli mau hidup?” lanjutnya.

***

Catatan Editorial:
[1] Kompas, “Mata Air yang Jadi Air Mata di Wawonii”, 14 Juni 2023.
[2] Betahita, “Masyarakat Sipil: Pulau Wawonii Hancur oleh Tambang Nikel”, 6 Juni 2023. [3] Telisik.id, “Demonstrasi Tuntut PT GKP Ditutup, Mahasiswa-Kejati Terlibat Adu Jotos”, 2 Agustus 2023.

Siaran ulang “Diskusi Publik: Tolak Uji Materiil PT GKP, Keselamatan Pulau-Pulau Kecil di Tangan MK” dapat diakses di sini.

Foto: beritakotakendari.fajar.co.id