9 Februari 2024-Para pekerja dari Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) berkumpul dalam acara deklarasi dan diskusi untuk meresmikan berdirinya Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) di Morowali, Sulawesi Tengah, Kamis (8/9/2023). Serikat ini berdiri sebagai wadah bagi pekerja industri nikel untuk memperjuangkan haknya demi kehidupan yang lebih baik dalam menghadapi kondisi kerja yang buruk, termasuk upah rendah yang memaksa buruh untuk lembur, mutasi sewenang-wenang, perusakan lingkungan, hingga standar keamanan kerja yang lemah dan kecelakaan yang terus menerus terjadi – termasuk ledakan tungku smelter nikel yang baru terjadi di PT Indonesia Tshinghan Stainless Steel (ITSS) yang berujung 21 orang wafat dan 38 terluka pada 24 Desember tahun lalu.

“Pemerintah menggadang-gadang hilirisasi nikel sebagai solusi perekonomian dan semua permasalahan di Indonesia. Namun, sedikit orang yang melihat bagaimana situasi di lapangan. Buruh memiliki posisi  yang lemah. Upah kecil memaksa kami untuk terus melakukan lembur dengan minim istirahat, yang berujung pada keletihan dan kecelakaan. Termasuk ledakan di tungku PT ITSS akhir tahun lalu, yang juga terjadi karena para pekerja sudah 24 jam melakukan perbaikan di lapangan,” ujar Hendrik Foord Jebbs, Ketua SBIPE.

“Serikat ini kami dirikan untuk mendesak industri dalam menjunjung hak pekerja. Selain masalah upah dan jam kerja, para buruh juga sering digantungkan statusnya. Sementara perusahaan dengan seenaknya malah melakukan praktik outsourcing dan merekrut pekerja dari luar negeri dengan upah timpang. Praktik hilirisasi serampangan ini, yang dilakukan tanpa memanusiakan buruh, akan terus kami lawan hingga akhir,“ pungkas Hendrik.

Dalam penelitian Trend Asia, sepanjang 2015-2022 kecelakaan kerja telah memakan 53 korban jiwa dan 76 korban luka di 15 lokasi smelter nikel di Sulawesi dan Maluku. Pada periode yang sama, di IMIP saja telah terjadi 18 insiden kecelakaan yang memakan 15 korban jiwa dan 41 korban luka. Banyaknya kecelakaan ini dipandang terjadi karena lemahnya pengawasan dan korupsi di IMIP.

“Praktek hilirisasi di Indonesia adalah kebijakan eksploitatif besar-besaran atas sumber daya alam dan manusia yang bisa dilihat dari kerusakan lingkungan di sekitar pusat industri nikel, praktek ketenagakerjaan terhadap buruh yang diskriminatif antara TKA dan pekerja lokal, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja yang begitu masif dalam sektor yang mengandalkan sepenuhnya pada modal asing,” kata Catur Widi dari Rasamala Hijau.

Dalam diskusi, para pembicara menyinggung regulasi yang banyak dipotong untuk mempermudah investasi dalam hilirisasi industri. Hal ini berujung pada praktik industri yang serampangan, merusak lingkungan, menindas buruh, dan sarat korupsi. Pendirian serikat diharapkan dapat memberikan tekanan pada praktik buruk industri di IMIP, khususnya dalam melindungi hak-hak pekerja.

Laode M.Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan dan mantan wakil ketua KPK mengatakan, nafsu hilirisasi pemerintah telah menerabas berbagai mekanisme pengaman manusia, sosial, dan lingkungan. RUU KPK dirampungkan dalam 2 minggu, Revisi UU Minerba dalam 4 minggu, dan juga UU Ciptaker; semua adalah regulasi yang diluluskan cepat oleh pemerintah yang banyak ditunggangi kepentingan bisnis. 

“Tidak heran bahwa kerusakan lingkungan dan kecelakaan marak terjadi dan berulang-ulang. Itu adalah bukti bahwa pengawasan juga menjadi lemah dan sangat mungkin dikorupsi. Nikel didorong katanya untuk transisi energi yang bersih dengan baterai, tapi ia percuma jika praktiknya merusak lingkungan dan tidak manusiawi pada pekerja,” ujar Laode. 

“Ada banyak alasan yang membuat sektor pertambangan rentan korupsi dan pengelolaan buruk: tata kelola perizinan yang berantakan, regulasi yang dikooptasi oleh kepentingan elit, minimnya transparansi, dan penegakkan hukum yang lemah, ” ujar Gita Ayu Atikah dari Transparency International.

“UU Pertambangan 2020 harus direvisi. Selain itu, mekanisme pengaduan dan transparansi terhadap industri harus ditegakkan agar mereka tidak semena-mena. Semoga berdirinya serikat ini dapat membantu pekerja untuk mendesak agar tata kelola industri akuntabel,” tambahnya.

“Upaya hilirisasi sebenarnya sudah berjalan selama 10 tahun, tapi apa dampaknya? Dalam banyak hal malah terjadi deindustrialisasi. Hilirisasi pada praktiknya hanya menguntungkan segelintir elit di Jakarta. Untuk mencari untung, pengusaha memotong ongkos lingkungan, buruh, dan keamanan. Akhirnya pekerja dan masyarakat lokal di sekitar kawasan industri yang memikul beban untuk memperkaya pebisnis dan politisi di Jakarta. Penggalakan hilirisasi ini benar-benar harus kita evaluasi,” pungkas Ahmad Ashov Birry dari Trend Asia.

Siaran ulang dapat diakses di sini

Materi narasumber dapat diakses di sini