Jakarta, 9 April 2021-Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih melakukan audiensi dengan Komisi VII DPR untuk memberikan saran dan catatan terkait pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Rabu lalu (7/4). Dalam audiensi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa ketentuan yang ada dalam RUU EBT sejauh ini tidak menjawab secara detail persoalan utama pengelolaan energi terbarukan.

Masyarakat Sipil juga menyoroti sejumlah tantangan lain yaitu adanya pengulangan substansi aturan dan tumpang tindih di RUU EBT dengan regulasi yang sudah ada. Regulasi dimaksud seperti UU Nomor 30/2007 tentang Energi dan UU Nomor 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.

“Di satu sisi akan baik jika memang ketentuan RUU EBT detail dan bisa memberi kepastian hukum dan mengisi kekosongan hukum yang belum diatur di UU yang sudah ada. Tapi masalahnya, ketentuan di RUU EBT sejauh ini justru sebagian besar mengulang dan tidak menjawab persoalan, sehingga dikhawatirkan tidak dapat dioperasionalisasikan ketika sudah disahkan,” kata Grita Anindarini dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

Dari 15 bab yang ada di RUU EBT, hanya dua bab saja yang benar-benar baru, yaitu Bab VII yang mengatur soal harga energi baru dan terbarukan dan Bab X mengenai dana energi terbarukan. Menyikapi hal ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih mendorong Komisi VII DPR RI untuk melakukan pendalaman materi dan substansi yang lebih komprehensif dalam menyusun RUU EBT. Hal ini penting karena yang dibutuhkan saat ini adalah kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi untuk mendorong akselerasi energi terbarukan.

Sebagaimana yang kita ketahui, transisi energi menjadi salah satu langkah penting yang diambil oleh banyak negara di dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan memenuhi komitmen Perjanjian Paris agar suhu bumi tidak melebihi 2oC. Penurunan emisi dan suhu bumi ini hanya bisa dicapai dengan memberikan ruang seluas-luasnya untuk pengembangan energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi fosil. Termasuk dengan cara tidak memasukkan ketentuan mengenai energi baru berupa gasifikasi batubara atau likuifaksi batubara, atau energi nuklir dalam RUU EBT.

Catatan Koalisi Masyarakat Sipil juga menyoroti soal gasifikasi batubara yang diperkirakan menyebabkan kerugian negara sebesar US$ 377 juta per tahun. Tidak hanya itu, komponen fixed cost sebesar US$ 2 miliar juga merupakan investasi berisiko tinggi yang berpotensi mengikis kedaulatan negara.

“Dalam RUU EBT ini,jenis ‘energi baru’ bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. Secara substansial, terminologi ini problematik sebab masih memasukkan sumber energi kotor batubara (gasifikasi). Selain berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, ‘energi baru’ juga akan membebani keuangan negara. Karena itu, pembahasan tentang ‘energi baru’ menjadi tidak relevan dalam RUU EBT ini. RUU ini harus fokus pada substansi energi terbarukan saja,” ujar Andri Prasetiyo dari Trend Asia.

Seperti diketahui, Indonesia sedang mengejar ketertinggalan target 23 persen bauran pada 2025, yang saat ini baru tercapai 11,5 persen. Dan, untuk mendukung transisi energi, maka kapasitas pertumbuhan pembangkit energi terbarukan perlu diakselerasi 6-8 kali lipat.

“Sejak tahun 2015, pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia lambat, sekitar 400-500 MW per tahun. Pada tahun 2020, pertumbuhan hanya mencapai 187,5 MW. Untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23 persen (RUEN), maka pembangkit energi terbarukan minimal perlu mencapai 24 GW pada tahun 2025 atau bertambah sebesar 2-3 GW per tahun,” tutur Deon Arinaldo dari Institute for Essential Services Reform(IESR).

Karena itulah, di hadapan Komisi VII DPR kemarin, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih meminta agar pengambilan keputusan terkait energi perlu melibatkan masyarakat secara luas, karena hal ini berkaitan dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin konstitusi.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih merupakan bentuk kerjasama 12 organisasi swadaya masyarakat yang bergerak di bidang energi terbarukan, kelestarian lingkungan, serta transparansi legislasi dan pemerintahan Indonesia.

Narahubung Media:

Grita Anindarini, Deputi Direktur Bidang Program, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), [email protected]
Andri Prasetiyo, Peneliti Trend Asia, [email protected],

Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi, IESR, [email protected],