Ketika pemerintah baru ramai mendorong transisi energi, Antong dan komunitas Dayak Siberuang di Sintang telah dimulai sejak dulu. Tanpa akses listrik dari pemerintah, mereka telah mulai membangun rangkaian PLTMh (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) di sungai-sungai sekitar sejak 2006.

Masyarakat bahu-membahu dan bekerja keras agar desa mereka terang di malam hari. Paling tidak 1.731 rumah sempat teraliri listrik dari 42 titik PLTMh yang tersebar di Kecamatan Tempunak dan Sepauk. Namun, usaha mereka tergerus bukan hanya oleh sulitnya perawatan, tetapi juga masuknya jaringan PLN. 

Ketimbang mendorong pemanfaatan listrik bersih yang memberdayakan rakyat, PLN lebih tertarik mengeruk mereka menjadi pelanggan untuk mendongkrak penyerapan listrik mereka, yang notabene berasal dari sumber kotor seperti batubara. 

“Di Sintang, kami dulu tidak terhubung dengan jaringan listrik PLN. Atas berbagai inisiatif, kami mengandalkan pembangkit mikrohidro dan surya untuk melistriki rumah-rumah kami.” ujar Antong, penggiat listrik independen dari komunitas Dayak Siberuang.

“Namun agar ini terus berlanjut, kami sangat butuh bantuan pemerintah untuk pelatihan teknis dan perawatan alat. Hal ini belum terjadi. Bahkan sebaliknya masuknya pemerintah malah mematikan upaya-upaya ini. Kini tinggal 8 dari 42 titik PLTMh yang beroperasi.”

Kisah serupa dicurahkan oleh Reza Yuliana dari Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) yang beroperasi di Lahat, Sumatera Selatan.

“Masyarakat Lahat tinggal di dekat PLTU dan tambang batu bara,  dan sangat terganggu oleh polusi dan aktivitasnya. Tapi ironisnya malah sering kekurangan listrik. Sering mati lampu. Makanya kami memanfaatkan PLTS untuk menyalakan pompa air dan menerangi posko belajar anak,” tutur Reza.

“Namun debu dari tambang batubara seringkali mengotori dan mengurangi efektivitas operasi PLTS ini. Kami juga kesulitan memenuhi kebutuhan pelatihan dan regenerasi untuk menjaga agar pengoperasian PLTS tetap berkelanjutan..”

Antong dan Reza adalah dua penggiat energi bersih yang hadir pada diskusi Just Energy Transition for People – Community Independent Power Producer (JETP-CIPP) pada Selasa (21/11/2023), yang diselenggarakan oleh Trend Asia dengan kolaborasi Greenpeace Indonesia dan Enter Nusantara. Mereka adalah salah dua dari 19 penggiat pembangkit listrik berbasis komunitas yang berkumpul untuk berbagi kisah dan membangun jaringan.

Acara ini diadakan sebagai wadah berbagi pengalaman dan berkeluh-kesah. Mereka mengeluhkan bagaimana upaya mereka terkendala minimnya kapasitas SDM, pendanaan, dan ketidakselarasan kebijakan. Dalam beberapa kasus, seperti kisah Antong, aktivitas mereka bahkan dipersulit oleh pemerintah.

Para penggiat ini sesungguhnya adalah motor transisi energi berkeadilan. Mereka bukan hanya meningkatkan bauran energi bersih, tapi juga membantu melawan kendala geografis Indonesia dan ketidakmerataan pembangunan sebagai salah satu rintangan akses warga terhadap listrik. Namun, upaya mereka dipandang sebelah mata oleh pemerintah yang terfokus pada proyek padat modal berskala besar.

Skema pendanaan internasional Just Energy Transition Partnership (JETP), misalnya, menjanjikan dana yang kini mencapai 21,5 miliar dolar untuk berbagai upaya transisi energi. Namun perencanaannya minim transparansi dan pelibatan publik. Ia juga sarat dengan solusi palsu yang tidak efektif memotong emisi karbon, punya dampak merusak bagi lingkungan, atau merupakan gimik greenwashing yang lebih melayani kepentingan energi fosil. Diskusi yang diselenggarakan Trend Asia ini memang sengaja diadakan untuk menandingi skema transisi tersebut.

“Dalam momen pertemuan JETP-CIPP ini, para penggiat energi berbasis komunitas menggambarkan jelas bagaimana semangat transisi energi berkeadilan yang seharusnya terjadi. Masyarakat termarjinalkan dan tidak terhubung dengan jaringan listrik dapat bergerak tumbuh dengan adanya energi terbarukan. Beberapa dari mereka juga menggunakan energi terbarukan sebagai penggerak kegiatan ekonomi yang menaikkan kesejahteraan mereka secara mandiri. Nyatanya energi bersih terbukti mampu memenuhi hak atas listrik yang merupakan bagian dari hak asasi manusia,” ujar Beyrra Triasdian, pengkampanye Energi Terbarukan Trend Asia.

“Transisi energi berkeadilan seperti itulah yang seharusnya didukung penuh. Pemerintah berkewajiban untuk menjamin hak hidup layak bagi warganya. Tidak hanya investasi, pengetahuan dan keberlanjutan dari energi terbarukan juga penting untuk diberikan ketika teknologi ini dikenalkan ke masyarakat,” pungkas Beyrra.

Para penggiat energi bersih berbasis komunitas ini akan memiliki peran penting dalam mendorong transisi energi berkeadilan. Pertemuan ini adalah langkah awal dalam upaya memperkuat jejaring penggiat pembangkit listrik berbasis komunitas di Indonesia. Kegiatan ini direncanakan menjadi agenda rutin untuk menghimpun masyarakat tapak yang sudah berperan serta dalam transisi energi ke energi bersih. 

***