Organisasi masyarakat sipil Trend Asia dan Climate Rights International menyikapi kunjungan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Biden pada 13 November 2023 mendatang. Kedua pemimpin negara tersebut dinilai harus fokus membahas dekarbonisasi industri nikel,  pemenuhan HAM dan pemensiunan PLTU batubara.

Jakarta-Amerika Serikat, 10 November, 2023–Indonesia harus memprioritaskan pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga batu bara, termasuk PLTU Captive yang digunakan salah satunya untuk mengoperasikan kawasan industri nikel, sebagai wujud komitmennya mengatasi masalah perubahan iklim, menurut Climate Rights International dan Trend Asia.

Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden AS, Joe Biden akan bertemu di Gedung Putih pada 13 November sebelum agenda Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di San Francisco. Dalam pertemuan tersebut, kedua kepala negara diperkirakan akan mendiskusikan perdagangan mineral untuk transisi energi penting dan dukungan kepada Indonesia dalam melakukan transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan.

“Akibat penggunaan batubara dalam jumlah yang sangat besar, industri nikel di Indonesia menjadi bom waktu bagi terciptanya bencana iklim, tetapi hal tersebut masih bisa diubah arahnya dan menjadi contoh baik bagi negara lain dalam melakukan transisi ke energi terbarukan,” kata Krista Shennum, peneliti dari Climate Rights International.

“Presiden Jokowi dan Presiden Biden perlu bekerja sama untuk melakukan dekarbonisasi industri nikel dan memensiunkan PLTU dalam sistem on dan off-grid di Indonesia agar menghindari bencana iklim. Jokowi seharusnya juga dapat memanfaatkan kesempatan untuk menyampaikan Biden bahwa AS seharusnya mengakhiri persetujuan peraturan serta insentif untuk proyek minyak dan gas
baru.”

Pertemuan antara Presiden Jokowi dan Biden berlangsung ketika permintaan mineral untuk transisi, termasuk nikel, meningkat secara drastis untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik.

Indonesia telah mengusulkan kepada AS agar ada perjanjian perdagangan bebas secara terbatas terkait mineral untuk transisi untuk kendaraan listrik. Indonesia dan AS tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas yang menjadi syarat memperoleh insentif untuk mineral kritis.

Dalam usulan tersebut, perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang rantai pasok kendaraan listrik agar diperbolehkan untuk mendapatkan insentif berdasarkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi Amerika Serikat Tahun 2022 atau U.S. Inflation Reduction Act (IRA). Namun, proyek penambangan dan peleburan nikel di Indonesia sangat mengkhawatirkan karena memicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, kecelakaan kerja, dan kerusakan lingkungan yang bisa menghambat terjadinya kesepakatan untuk membuka perdagangan bebas nikel dari Indonesia ke AS.

Kekhawatiran ini pun datang dari sembilan senator Amerika Serikat pada bulan Oktober lalu karena perjanjian yang diusulkan oleh Indonesia memiliki celah terhadap pelanggaran perlindungan tenaga kerja, berdampak buruk terhadap lingkungan, dan minimnya keterlibatan masyarakat.

Pertumbuhan smelter nikel di Indonesia telah memicu berbagai persoalan. Antara lain penggunaan batubara secara masif, rantai pasok mineral melepaskan banyak karbon ke atmosfer, dan menghasilkan banyak polusi udara. Sebagai contoh, perluasan dari Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), salah satu kawasan industri smelter nikel terbesar di dunia, mendorong dibangunnya sembilan PLTU baru, dengan total kapasitas 3,3 GW. Kapasitas PLTU Captive, yaitu PLTU untuk kawasan industri seperti di IMIP akan terus bertambah. Hingga tahun 2030, Indonesia diproyeksikan akan memiliki lebih dari 30 GW PLTU Captive setara dengan pemakaian batubara di seluruh Polandia per tahun. Hilirisasi nikel dengan batubara jelas-jelas bertentangan dengan dekarbonisasi yang saat ini gencar dilakukan di Indonesia, salah satunya melalui Just Energy Transition Partnership (JETP).

Salah satu peluang yang bisa dilakukan Indonesia untuk melakukan dekarbonisasi di sektor energi, termasuk PLTU Captive, adalah melalui JET senilai USD 20 miliar. Kemitraan ini dilakukan antara Pemerintah Indonesia dengan 10 negara dan Uni Eropa yang tergabung dalam International Partners Group (IPG). IPG bertujuan untuk membantu tercapainya transisi energi di Indonesia dan saat ini IPG dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang.

Sayangnya, rancangan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP Indonesia saat ini yang dirilis pada bulan November diketahui mengecualikan PLTU Captive dalam analisisnya, mengandalkan solusi palsu, tidak memiliki perlindungan hak asasi manusia yang memadai, dan berpotensi untuk meningkatkan utang Indonesia. Sebagai contoh, rencana dokumen tersebut mengusulkan teknologi pengurangan emisi dan bahan bakar seperti biomassa, ammonia, dan hidrogen, yang sebenarnya dapat memberikan ancaman bagi hak asasi manusia dan iklim.

Dalam hal ini, pembakaran biomassa di pembangkit listrik mengeluarkan karbon dioksida dan polutan udara, termasuk zat padat yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Tidak hanya itu, pembakaran biomassa yang menggunakan produk pertanian seperti pelet kayu, cangkang kelapa sawit, sekam padi, dan tongkol jagung juga dapat berkontribusi terhadap deforestasi yang menjadi salah satu faktor utama krisis iklim di Indonesia. Selain itu, rencana dalam CIPP menggunakan amonia dan hidrogen yang saat ini keduanya masih diproduksi dari sumber energi fosil.

Dalam skema transisi energi, JETP ternyata terus mengusulkan solusi palsu dalam bentuk gas fosil dan nuklir. Keduanya disebut solusi palsu karena masih menggunakan bahan bakar fosil yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

Berdasarkan rencana JETP saat ini, hanya USD153,8 juta atau sekitar 0,8 persen dari total proposal JETP senilai USD21,5 miliar yang akan dialokasikan sebagai dana hibah. Sebagian besar dari pendanaan USD11,5 miliar dari IPG adalah pinjaman. Pendanaan swasta dari GFANZ sebesar USD10 miliar akan mencakup pinjaman mengacu bunga pasar, investasi ekuitas, serta instrumen pasar modal lainnya.

Melihat sejarah bahwa penghasil emisi terbesar dunia, termasuk AS, seharusnya tidak
membebani negara berkembang seperti Indonesia dengan hutang baru untuk transisi energi. Sehingga dalam pendanaan JETP ini porsi hibah harus dinaikkan untuk membantu Indonesia mewujudkan transisi energi.

Presiden Jokowi sendiri mengakui bahwa memiliki komitmen untuk transisi energi. “Jangan mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap transisi energi. Yang saya pertanyakan adalah komitmen negara-negara maju,” kata Jokowi.

Dalam melakukan transisi energi, penting untuk menghormati hak-hak masyarakat setempat dan setiap pendanaan internasional yang di dalamnya harus mencakup perlindungan terhadap hak asasi manusia dan lingkungan untuk proyek energi terbarukan. Di dalam JETP banyak proyek energi terbarukan. Tidak hanya itu, partisipasi publik, transparansi, mekanisme pengaduan yang dapat diakses, dan audit independen juga merupakan aspek yang penting untuk diperhatikan.

“Rencana untuk mendukung dekarbonisasi di Indonesia harus memperhitungkan semua sumber emisi di sektor energi, termasuk PLTU Captive,” kata Zakki Amali, Manajer Riset di Trend Asia.

“Dekarbonisasi harus mencakup penghormatan terhadap hak-hak masyarakat setempat dan tidak mengikat Indonesia dalam utang puluhan tahun.”

Trend Asia adalah organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia. Trend Asia berbasis di Jakarta, Indonesia. https://trendasia.org/en/home/

Climate Rights International adalah lembaga yang berfokus untuk melindungi hak masyarakat & komunitas di era perubahan iklim yang berbasis di Amerika Serikat. https://cri.org/

Foto: Sekretariat Kabinet