CIREBON/JAKARTA – 10 September 2020 – WALHI Jawa Barat mengirim surat kepada Pimpinan KPK untuk terus mengusut kasus gratifikasi dalam pembangunan PLTU Cirebon 2 yang merupakan megaproyek listrik nasional 35.000 MW Jokowi. Sejak kepemimpinan baru KPK, Firli Bahuri tidak ada perkembangan atas kasus korupsi ini. Padahal sejumlah nama yang ditetapkan sebagai tersangka dan yang terungkap dalam persidangan masih menghirup udara segar dan menikmati jabatan publik.

KPK telah menetapkan status tersangka atas Sunjaya Purwadisastra dalam pengembangan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sunjaya disangka menerima Rp6.04 miliar dalam kasus gratifikasi proyek pembangunan PLTU Cirebon 2. Seperti kesaksian dua orang dalam persidangan TPPU, dana tersebut diberikan Hyundai E&C melalui General Manager Herry Jung dan PT CEPR oleh Direktur Utama Heru Dewanto dan Direktur Corporate Affairs Teguh Haryono.

Pengkampanye Energi dan Urban WALHI Nasional Dwi Sawung mengatakan, “Penetapan tersangka terhadap beberapa orang di dalam kasus suap Hyundai sampai saat ini belum maju ke tahap apa pun. Semakin lama kasus ini tidak naik ke persidangan, semakin besar kemungkinan para pelaku menghilangkan barang bukti. Padahal beberapa aktor penting malah terlihat bersama beberapa pejabat negara dan beberapa pelaku masih menduduki jabatan publik.”

Hyundai E&C (HDEC) merupakan perusahaan kontraktor asal Korea Selatan yang mengerjakan konstruksi fisik PLTU batu bara Cirebon 2 (1×1000 MW). Sedangkan PT CEPR adalah perusahan yang akan menjalankan operasional PLTU tersebut. Namun sejauh ini, KPK baru menetapkan Herry Jung sebagai tersangka penyuapan kepada Sunjaya. KPK menerbitkan larangan bepergian ke luar negeri kepada Herry Jung, Heru Dewanto ,dan Teguh Haryono selama 6 bulan terhitung November 2019.

Anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengatakan, “KPK harus terus menelusuri nama-nama lain yang diduga menerima aliran suap. Dugaan tindak pidana pencucian uang juga harus dibuktikan secara serius, agar aliran dana dan pihak-pihak lain yang terlibat bisa diketahui secara jelas.”

Manager Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwank menyebutkan bahwa masyarakat sudah merasakan dampak kesehatan dari operasional PLTU Cirebon 1. Begitu juga operasional pembangkit tersebut telah merusak wilayah tangkap nelayan dan buruh tani kehilangan lahan garapan. Dengan pembangunan proyek PLTU Cirebon 2, maka potensi dampak kesehatan dan mata pencaharian warga akan semakin memburuk.

“PLTU ini sudah kotor dari sisi dampak operasional karena abu dan debu pembakaran batubara merusak ekonomi dan kesehatan. Industri listrik negara ini semakin kotor karena memang sering dijadikan bancakan korupsi oleh elit lokal, nasional dan pihak swasta. Sudah hampir setahun kasus ini tidak ada perkembangan. Maka dengan itu kami meminta KPK segera selesaikan kasus korupsi yang sampai hari masih terkatung-katung,” kata Iwank.

Kasus tindak pidana gratifikasi oleh Hyundai ini sudah menjadi bahasan dengar pendapat di tingkat parlemen Korea Selatan karena dianggap telah mencoreng nama baik dan reputasi negara. Hye Jin Chae, Koordinator Legal Greenpeace Korea Selatan mengatakan, “Greenpeace sedang fokus pada masalah ini dan, jika kecurigaan terhadap Hyundai dikonfirmasi oleh KPK, Greenpeace akan menyebarkan berita tersebut ke Korea dan akan menyoroti aspek “kotor” dari industri batubara.” (*)