Jakarta, 15 Oktober 2023-Konsesi Hutan Tanaman Energi (HTE) menyumbang 29% titik api pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) periode Juli-September 2023 yakni sebanyak 1.540 titik api. Berdasarkan data yang dihimpun Trend Asia, tren kebakaran hutan kembali marak usai pandemi. Jika dibandingkan data titik api dengan periode yang sama pada tahun pandemi yakni 2020, ada 427 titik api, 2021 ada 384 titik api dan 2022 sebanyak 128 titik, namun tahun 2023 ini menunjukkan lonjakan titik api di dalam konsesi HTE yang asap kebakarannya telah memperburuk kualitas udara di sejumlah daerah.

Titik-titik api itu tersebar di konsesi-konsesi HTE yang di antaranya dimiliki pemain
besar seperti Sampoerna, Sinar Mas, Medco, dan Jhonlin. Titik api terbanyak pada
rentang waktu yang sama terdapat di konsesi PT Usaha Tani Lestari di Nusa Tenggara Timur sebanyak 353 titik api, dan PT Selaras Inti Semesta (SIS) di Merauke, Papua Selatan sebanyak 334 titik api.

PT Usaha Tani Lestari diketahui pada tahun 2022 izinnya dievaluasi oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara, PT SIS merupakan anak perusahaan
dari Medco Group, yang belum lama ini diketahui menerima dana terkait transisi energi dan melakukan deforestasi di hutan alam primer di wilayah masyarakat adat Zanegi. Deforestasi tersebut menyebabkan hilangnya sumber pangan dan meningkatnya angka gizi buruk pada ibu dan anak di komunitas masyarakat adat Zanegi. [1]

“Deforestasi yang terjadi akibat aktivitas HTE seperti Medco Group, menjadi risiko yang harus ditanggung masyarakat dan komunitas adat, demi pemenuhan target Biomassa pelet kayu untuk PLTU co-firing dan PLTBm (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa). Program bioenergi dengan menggenjot produksi biomassa pelet kayu jelas tidak dapat dikategorikan sebagai transisi energi yang bersih dan berkeadilan, sebaliknya itu adalah solusi palsu,” kata Amalya Oktaviani, Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia.

“Pemerintah memiliki target memproduksi 10 juta ton biomassa untuk PLTU co-firing hingga tahun 2025, namun hingga Juni 2023 produknya baru mencapai angka 0,5 juta ton. Pemerintah terlihat panik menangani kebakaran hutan, tapi di balik itu, pemerintah menggesa pembangunan hutan tanaman energi, untuk menghasilkan kayu-kayu yang akan dibakar di PLTU co-firing maupun PLTBm,” lanjut Amalya.

Saat ini ketika musim kemarau yang lebih kering akibat El Nino, ancaman kebakaran
hutan semakin tinggi. Kondisi ini diperparah dengan tekanan target pemerintah
memenuhi kebutuhan biomassa pelet kayu untuk pembakaran di PLTU co-firing.
Laporan Trend Asia [2022] menyebut bahwa untuk memenuhi target co-firing 10 persen di 52 unit PLTU, setidaknya dibutuhkan 2,3 juta hektar HTE, dan akan mengakibatkan deforestasi sedikitnya 1 juta hektar[2].

“Membakar lahan menjadi cara yang mudah dan murah untuk land clearing konsesi. Dalam banyak praktek hutan tanaman industri sebelumnya, kebakaran di dalam konsesi merupakan cara korporasi untuk mempercepat pembukaan lahan supaya bisa ditanami tanaman monokultur,” tambah Amalya.

Pada tahun 2022, sebanyak 31 Perizinan Berusaha Pengelolaan Hutan – Hutan
Tanaman (PBPH-HT) tersebut, yang semula mengusahakan Hutan Tanaman Industri
(HTI) berkomitmen mengalokasikan konsesinya untuk menanam tanaman energi.
Empat grup yang disebutkan sebelumnya, termasuk grup Kertas Nusantara, Katingan Timber Group, dan Barito Pacific, mengalokasikan seluas 202 ribu hektare untuk ditanami tanaman energi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut baru-baru ini tujuh provinsi telah menyatakan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan dan enam provinsi di antaranya terdapat konsesi HTE [3]. Enam provinsi tersebut yakni Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Konsesi HTE terbanyak terdapat di Kalimantan Barat, yaitu 7 perusahaan yang 3 di antaranya izinnya sudah dicabut melalui Keputusan Menteri LHK SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Namun, masih ditemukan titik api di dalam 3 wilayah konsesi tersebut, yaitu PT Bhatara Alam Lestari, PT Nityasa Idola, dan PT Gambaru Selaras Alam.

Selain itu, jika menilik data hotspot yang dihimpun oleh Trend Asia, titik api juga
ditemukan di Pulau Jawa, mencapai 9.710 titik yang sebagian berada di wilayah Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas yang merupakan wilayah kerja Perhutani. Dalam proses penyediaan biomassa kayu untuk bahan baku PLTU co-firing, Perhutani berperan menyediakan 75 ribu hektare lahan.

“Penggenjotan program co-firing PLTU jelas menimbulkan banyak masalah, selain memperpanjang usia pembangkit listrik batubara dalam memaparkan polusi, penyiapan bahan baku biomassa yang bersumber dari konsesi HTE juga berpotensi memperluas deforestasi dan perampasan lahan,” kata Amalya.

“Hutan alam seharusnya kita jaga sebagai benteng mitigasi krisis iklim, bukannya malah menjadi bahan bakar di pembangkit batubara. Tapi menjelang tahun politik, dengan praktik ijon politik makin kencang, land clearing melalui kebakaran hutan di luar konsesi justru kita lihat sebagai upaya justifikasi supaya lahan yang terbakar dapat dibebani izin konsesi baru. Ini menunjukkan Indonesia masih jauh dari komitmen melawan krisis iklim,” tutup Amalya.

Daftar Pustaka:
[1] https://thegeckoproject.org/articles/green-finance-bankrolls-deforestation-in-papua/
[2] https://trendasia.org/riset-membajak-transisi-energi-seri-2-ancaman-deforestasi-tanaman-energi/
[3]
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231007170622-20-1008368/klhk-tujuh-provinsi-sudah-tetapkan
-siaga-darurat-karhutla

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia