“Tidak ada yang tidak bisa diambil, seperti kayu-kayu, dan obat-obatan, serta semua yang ada di hutan. Itulah yang kami butuhkan. Mandorou, pelege, semua yang dicari oleh Sikerei bisa ditemukan jika kita masuk ke dalam hutan,” ujar Sikerei dari Desa Madobag, Dusun Rokdog, Kepulauan Mentawai.

Hutan adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat adat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Kehidupan saling bertaut dengan pangan, pengobatan, dan kebudayaan. Hutan Mentawai memiliki 200 jenis tanaman obat yang diolah oleh Sikerei. Sikerei adalah sebutan untuk tabib yang dihormati karena kemampuannya dalam  meramu obat dan menyembuhkan orang sakit. Tak hanya itu, Kepulauan Mentawai adalah habitat bagi flora dan fauna, termasuk 4 jenis mamalia endemik, 5 burung endemik, 7 reptil yang statusnya dilindungi, dan 3 jenis pohon yang statusnya dilindungi.

Tanaman obat yang di ambil dari hutan mentawai  masih digunakan turun-temurun. Melvinas Priananda/Trend Asia

Kepulauan Mentawai adalah daerah yang terdiri dari 99 pulau dengan luas 603.400 hektare dan dihuni sekitar 90 ribuan jiwa. Kepulauan Mentawai memiliki satu pulau besar, yakni Pulau Siberut dengan luas sekitar tiga ribu kilometer, dan sisanya berstatus sebagai pulau kecil. Kepulauan Mentawai termasuk sebagai daerah 3T (terluar, tertinggal, dan terdepan) dengan Pulau Pagai Utara sebagai pulau terluar. Ia memiliki kawasan hutan seluas 512.044 hektare atau 85,19% dari wilayah kabupaten ini. Di dalam kawasan hutan tersebut, 76% masih berupa tutupan hutan alam, 2% berupa hutan tanaman atau kebun kayu, dan 7,11% merupakan semak belukar.

Sayangnya, pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) yang disebut pemerintah sebagai “energi hijau” itu mengancam peradaban salah satu suku tertua di Indonesia ini. Hubungan antara masyarakat adat Mentawai dan alam dapat terlihat dari tato-tato yang melekat di tubuh para Sikerei. Tato Mentawai merupakan tato tertua di dunia [1].

 Sikerei, Orang Yang Dipercaya Memiliki Kekuatan Spiritual Oleh Suku Mentawai. (Melvinas Priananda/Trend Asia)

Proyek PLTBm di Kepulauan Mentawai

Pada tahun 2019, pemerintah membangun tiga PLTBm di Kepulauan Mentawai yang terletak di Desa Saliguma, Matontonan, dan Madobag. PLTBm itu dibangun dari hibah yang diberikan Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia, senilai US$12,4 juta dengan pengembang PT Charta Putra Indonesia (CPI). Saat masuk ke Mentawai, pemerintah menjanjikan proyek PLTBm akan meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat dengan membeli bambu dari warga dan menghadirkan listrik 24 jam. Sebelum ada PLTBm, masyarakat Mentawai menggunakan PLTS sebagai sumber listriknya.

Namun, janji pemerintah berbeda dengan kenyataan. Saat listrik dari PLTS ditinggalkan dan beralih ke biomassa, nyala listrik di Kepulauan Mentawai hanya 6 jam dan hanya beroperasi sekitar 6 bulan saja. Ketika PLTBm itu beroperasi bambu yang ditanam oleh masyarakat tak bisa dijual ke PLTBm. Selain bambu, masyarakat juga diharuskan menebang kayu dari hutan adat mereka untuk bahan bakar PLTBm.

Mesin pembangkit PLTBM yang sudah mangkrak dan tidak beroperasi. (Melvinas Priananda/Trend Asia)

Masuknya PLTBm di Kepulauan Mentawai beriringan dengan terbitnya PBPH (Perizinan Berusaha Pengelolaan Hutan) pada tahun 2018, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kepada PT Biomass Andalan Energy (BAE). Izin tersebut melingkupi konsesi lahan seluas 19.876,59 hektar di Pulau Siberut. Diperkirakan, nilai investasi yang akan ditanamkan untuk bisnis tersebut mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Dari 19 ribu hektar luasan konsesi perkebunan tanaman biomassa itu, 11 ribu di antaranya merupakan tutupan hutan dan wilayah kelola dari komunitas masyarakat adat di Mentawai.

Kayu bambu yang sudah diolah untuk PLTBM terbengkalai. (Melvinas Priananda/Trend Asia) 

Hutan bagi masyarakat adat Mentawai tak hanya memiliki kedekatan spiritual, tetapi menjadi pencegah bencana hidrologis. Menurut BNPB, Kepulauan Mentawai merupakan wilayah dengan potensi bencana yang tinggi, khususnya bencana hidrologis seperti tanah longsor, kekeringan, dan cuaca ekstrim. Perkiraan jumlah jiwa yang terpapar bencana di Kepulauan Mentawai pun tak sedikit, yakni untuk bencana cuaca ekstrim terdapat sekitar 62 ribu jiwa berpotensi terpapar, diikuti oleh bencana kekeringan yang dapat memapar hingga 57 ribu jiwa [2].

Penggunaan Biomassa sebagai “Energi Hijau” dan Deforestasi di Indonesia

Indonesia memiliki target Net Zero Emission pada tahun 2060 dengan sektor prioritas pertama dalam  pengurangan emisi di sektor hutan dan lahan, dan sektor energi di prioritas kedua. Hingga tahun 2030, Indonesia berencana mengurangi sekitar 358 juta ton hingga 446 juta ton emisi (dengan bantuan Internasional) dari sektor energi. Indonesia juga menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025, namun pada tahun 2023 ini bauran EBT masih di angka 12,3%.

Salah satu strategi energi terbarukan yang digunakan pemerintah yakni penggunaan co-firing biomassa di Pembangkit Listrik Batubara dan full-firing biomassa. Untuk kebutuhan co-firing biomassa di 52 PLTU di seluruh Indonesia, pemerintah membutuhkan 9 juta ton. Pemerintah mengklaim penggunaan biomassa sebagai energi terbarukan karena netral karbon. Padahal dalam prosesnya, biomassa menghasilkan utang karbon dari proses deforestasi [3].

Menurut perhitungan Trend Asia, co-firing biomassa sebesar 10% di 52 PLTU, berpotensi menghasilkan 26,48 juta ton emisi setara karbon. Emisi tersebut dihasilkan melalui proses pembakaran bahan baku biomassa dan batubara di PLTU, pembukaan dan pemanenan lahan untuk kebun biomassa, dan proses produksi bahan baku biomassa pelet kayu. Beberapa negara maju seperti Australia dan Belanda telah menganggap bahwa biomassa kayu dari hutan primer bukanlah energi terbarukan.

Pembalakan hutan primer dalam pemanfaatan energi biomassa kayu merupakan hal yang tidak akan terhindarkan. Keberlanjutan suplai biomassa kayu akan dipastikan dengan ekspansi Hutan Tanaman Energi (HTE) atau perkebunan kayu. Menurut kajian, pemanfaatan biomassa pelet kayu dalam program co-firing (oplosan) di 52 PLTU akan membutuhkan lahan hingga 2,3 juta hektar. 

Perluasan HTE tentu akan mempertebal ancaman terhadap kondisi hutan di Indonesia. Apabila digunakan untuk menyuplai PLTBm, berarti akan mendorong perluasan HTE lebih dari 2,3 juta hektare. Kepulauan Mentawai merupakan salah satu contoh alih fungsi lahan. Bukan itu saja, proses land clearing HTE di Indonesia umumnya sangat rentan dengan konflik lahan, kriminalisasi, dan penyingkiran hak masyarakat adat. Dalam proses land clearing HTE pun kerap kali mengakibatkan bencana kebakaran hutan dan lahan karena membakar lahan dianggap sebagai cara yang mudah dan murah [4].

Jika melihat kondisi ini, apakah menurutmu penggunaan biomassa masih layak disebut sebagai “energi hijau”?

Catatan editorial:

[1] https://www.liputan6.com/regional/read/5098523/titi-tato-tertua-di-dunia-ada-di-suku-mentawai-sumatra-barat

[2] https://inarisk.bnpb.go.id/infografis 

[3] https://trendasia.org/riset-membajak-transisi-energi-seri-1-adu-klaim-menurunkan-emisi/

[4] https://trendasia.org/trend-asia-29-titik-api-berada-di-hutan-tanaman-energi-yang-menggandakan-polusi-dari-kebakaran-hutan-dan-pembakaran-di-pltu/

[5] Sumber foto: Trend Asia