Lima puluh tahun sejak peringatan Hari Lingkungan Hidup pertama, tepatnya 5 Juni 2023, kita dihadapkan pada permasalahan lingkungan hidup yang kian kompleks. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam riset terbarunya menyebut bahwa angka pemanasan global telah mencapai titik 1,1o C. Angka ini tentu tak bisa dianggap remeh, karena batas anjurannya di bawah 1,5o C agar bumi ini bisa tetap “layak” dihuni.

Di tengah suhu pemanasan global yang terus naik, masyarakat berulang kali justru dikerjai oleh pemerintah yang berturut-turut membuat kebijakan yang condong kepada industri perusak lingkungan. Meski begitu, apakah berarti perjuangan kita sia-sia? Tentu tidak. Di hari Lingkungan Hidup Sedunia ini, mari kita mengingat beberapa buah perjuangan masyarakat dalam melawan industri ekstraktif.

Kemenangan warga Cirebon dan Kebijakan Baru IFC sebagai Harapan Percepatan Transisi Energi di Indonesia

Jelang akhir tahun 2022, tepatnya 14 Oktober 2022, Majelis Hakim PTUN Bandung memerintahkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Barat untuk mencabut Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A berkapasitas 2 x 660 MW dan Fasilitas Penunjangnya di Desa Pengarengan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon. Majelis Hakim menyatakan bahwa keberadaan PLTU Tanjung Jati A dapat memperparah krisis iklim. Kemenangan warga ini semakin mutlak karena hingga batas akhir pengajuan banding, Kepala DPMPTSP Provinsi Jawa Barat tidak mengajukan banding atas putusan ini.

Rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A ini ditentang oleh warga sekitar. Banyak kisah hidup warga yang berdampingan dengan mesin penghasil emisi dan polutan ini. Sumber perekonomian mereka tergerus, hak untuk udara bersih tercerabut, ruang demokrasi dipersempit bahkan sampai ada yang dikriminalisasi oleh pihak PLTU. Apabila PLTU Tanjung Jati A ini nekat didirikan, sedikitnya akan ada 230 hektar tambak garam milik petani yang terdampak. Tak hanya itu, apabila PLTU ini beroperasi, ia akan menghasilkan emisi CO2 sebesar 18,85 juta ton CO2e atau 17,1 juta metrik ton per tahun dan 565,5 juta ton atau 513 juta metrik ton selama 30 tahun beroperasi. Ini tentu akan semakin mencekik ruang hidup masyarakat yang selama ini sudah terhimpit oleh keberadaan PLTU Cirebon I dan PLTU Cirebon II.

Masyarakat Cirebon, khususnya anak-anak muda Cirebon khawatir, keberadaan PLTU Tanjung Jati A akan semakin memperburuk kesehatan warga dan menjatuhkan masyarakat pada kemiskinan. Selama ini, keberadaan PLTU I dan PLTU II sudah merenggut ekonomi masyarakat tambak garam, nelayan tradisional, dan terjadinya alih fungsi lahan.

Putusan hukum dari PTUN Bandung menjadi bukti kuat dan legal bahwa proyek PLTU batubara hanya akan memperparah krisis iklim sehingga seharusnya tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk membangun proyek-proyek PLTU lainnya.

Lonceng penanda bahwa Indonesia dan dunia harus segera keluar dari proyek batubara semakin berdenting kencang ketika International Finance Corporation (IFC), anak usaha Bank Dunia, belum lama ini mengumumkan kebijakan untuk berhenti mendanai proyek pembangunan PLTU batubara. Komitmen dari IFC ini sekaligus meruntuhkan kebijakan terdahulu mereka yang masih mengizinkan klien perantara keuangan, seperti bank komersial, untuk mendukung proyek batubara baru asalkan bank tersebut keluar dari portofolio proyek batubara pada 2030.

Mundurnya IFC dari pendanaan batubara ini tak lepas dari upaya masyarakat Indonesia yang menekan mereka melalui laporan dari Recourse, Heinrich Böll Stiftung Washington DC, BankTrack, Trend Asia, dan Center for Financial Accountability tentang adanya celah dan kegagalan dalam praktik ekuitas hijau yang hanya greenwashing saja. Laporan ini mengambil studi kasus dalam praktik yang dilakukan oleh IFC pada PT Bank KEB Hana Indonesia. Kurang dari setahun setelah Bank Hana Indonesia mendaftar ke program GEA (Green Equity Approach) yang diusung IFC, Bank Hana Indonesia malah membiayai proyek energi kotor PLTU Jawa 9 & 10 di Suralaya, Cilegon, Banten. 

Melalui komitmen dari IFC ini, tak ada alasan lagi bagi Bank Hana Indonesia untuk membiayai proyek PLTU Jawa 9 & 10. Apalagi keberadaan proyek PLTU Jawa 9 & 10 justru semakin memperburuk kualitas lingkungan hidup dan kesehatan warga di Banten yang sudah terhimpit oleh puluhan cerobong PLTU. Data Dinas Kesehatan Kota Cilegon menyebut, sejak tahun 2018 sampai Mei 2020 terdapat 118.184 kasus ISPA di kota Cilegon. Jumlah ini tentu bukan hal remeh dan bukan tak mungkin akan terus bertambah apabila PLTU Jawa 9 & 10 beroperasi.

Sedikitnya, dorongan agar Banten bernapas dengan menolak PLTU Jawa 9 & 10 ini disampaikan dengan lantang oleh lebih dari 17 ribu warga pemetisi.

Putusan PTUN Bandung dan komitmen terbaru IFC ini menjadi tanda nyata bahwa tren penggunaan batubara sudah semakin suram. Industri batubara harusnya tak lagi punya tempat untuk menghancurkan lingkungan di Indonesia.

Kemenangan awal Warga Sangihe di bawah bayang-bayang tambang emas yang terus berlanjut 

Di Timur Indonesia, tak sedikit warga yang hidup di pulau-pulau kecil bertarung melawan kepunahan akibat kehadiran industri ekstraktif, salah satunya adalah Warga Pulau Sangihe. 

Baru-baru ini, warga Sangihe, sebuah pulau kecil di utara Sulawesi cukup bisa bernapas lega setelah Januari 2023 lalu, Mahkamah Agung menolak kasasi izin produksi dan operasi PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) oleh Menteri ESDM. Kemenangan itu buah dari perjuangan masyarakat selama hampir 3 dekade sejak PT TMS mengobrak-abrik.

Keinginan warga Sangihe menjaga pulaunya yakni menjaga warisan dan sebuah penghormatan bagi leluhur mereka. Bayangkan saja, luas pulau Sangihe yang hanya 736,98 km2 itu, 420 km2 adalah luas lahan konsesi tambang emas. Artinya, lebih dari 50 persen wilayah Sangihe akan digerus oleh PT TMS.

Agustinus, 77 tahun, seorang warga yang turut menjadi penggugat utama izin operasi produksi PT TMS di PTUN Jakarta mengungkapkan, keberadaan tambang milik Sangihe Gold Corporation asal Kanada itu tak hanya merusak pertanian dan mengakibatkan warga terkena racun tambang. Selain itu, para perempuan Sangihe kerap kali menemukan air yang mengalir ke rumahnya kotor akibat tercemar limbah tambang. PT TMS pun pernah menawar hendak membeli tanah milik warga, tapi harga per meternya hanya Rp5 ribu. Harga yang lebih mahal daripada harga sayuran di pasar.

Namun, masalah yang ditimbulkan oleh PT TMS bukan hanya itu. Petaka lain dari perusahaan asal Kanada itu yakni hancurnya kerukunan antarwarga di kampung.

Perjuangan warga hingga mencapai kemenangan bukanlah perjuangan yang sepele. Warga harus menghadapi ancaman, termasuk di antaranya kriminalisasi yang terjadi pada Robison Saul, seorang nelayan penolak tambang emas. Robison Saul terpaksa merelakan waktu 9 bulan tak bertemu Widyawati, istrinya, karena dipenjara dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951.

Robison ditahan saat mengikuti aksi penghadangan alat berat milik PT TMS di kampung Salurang. Ia dituduh membawa senjata tajam, padahal yang Robison bawa adalah pisau besi putih yang akan Ia gunakan untuk melaut di Pantai Dagho. Kini, Robison telah bebas setelah menjalani masa tahanan selama 9 bulan. Dengan kemenangan yang telah dimiliki warga Sangihe, sudah seharusnya PT TMS tak memiliki legitimasi hukum di Pulau Sangihe.

Meski demikian, ada kabar terbaru bahwa perusahaan tambang itu masih saja ingin melanjutkan penghancuran pulau kecil tersebut. Pekan lalu, saat Kementerian Koordinator bidang politik hukum dan HAM menginvestigasi aktivitas tambang, didapati sejumlah alat berat yang disembunyikan dalam hutan. Kunjungan dari kementerian itu sempat diwarnai kericuhan antara warga penolak tambang yang ikut rombongan dengan para petambang. 

Perlawanan dan kemenangan warga Sangihe di PTUN bisa menjadi pemantik semangat bagi masyarakat di pulau kecil lainnya yang kini masih berjuang dari gempuran industri ekstraktif, seperti Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, Pulau Obi di Maluku Utara, dan di berbagai tempat lainnya.

Perlawanan demi perlawanan warga terhadap industri ekstraktif dan oligarki di belakangnya kini semakin memunculkan harapan. Sebab, kemenangan demi kemenangan telah ada dalam genggaman kita, rakyat Indonesia, yang ingin melihat Indonesia maju tanpa merusak  lingkungan dan menyengsarakan manusia. Mari, #RayakanKemenangan untuk #NyalakanPerlawanan!

Penulis: Widia Primastika

Foto: Cyva Ardian/Trend Asia